PAKAN
UDANG WINDU
(Penaeus
Monodon)
I
PENDAHULUAN
Udang merupakan salah satu
komoditas primadona di Sub Sektor perikanan yang diharapkan dapat meningkatkan
devisa negara. Permintaan pasar di luar negeri yang cenderung meningkat serta
sumber daya yang cukup tersedia di Indonesia memberikan peluang sangat
besar untuk dapat dikembangkan budidayanya.
Awal dekade 1980-an merupakan
momentum yang sangat penting bagi dimulainya usaha budidaya udang di Indonesia.
Kebijaksanaan pemerintah, seperti larangan penggunaan jaring trawl dan berbagai
kebijaksanaan yang mendukung peningkatan komoditas ekspor non-migas pada tahun
1980 merupakan faktor yang merangsang pengusaha perikanan untuk lebih berorientasi
pada peningkatan produksi udang melalui usaha budidaya.
Produksi udang di Indonesia
dihasilkan dari dua sumber, yaitu dari hasil penangkapan dan budidaya. Dalam
kurun waktu 1975 - 1980 produksi udang di Indonesia mengalami kenaikan cukup
tinggi, sebagian besar hasil dari penangkapan di laut. Akan tetapi, setelah
dikeluarkan Keppres No. 39 tahun 1980 yang melarang penggunaan jaring trawl,
terjadi penurunan hasil perikanan yang sebagian besar berasal dari komoditas
udang.
Dengan berbagai upaya yang telah
dilakukan pemerintah Indonesia, seperti kegiatan ekstensifikasi dan
intensifikasi tambak, dan hal itu mendorong sektor swasta untuk menanamkan
modalnya dalam usaha pertambakan udang, maka hasilnya dapat terlihat dengan
adanya peningkatan produksi udang, juga ekspornya yang cukup pesat pada PELITA IV.
Pada tahun 1985, Indonesia mampu
mengekspor udang sebanyak 30.800 ton senilai US $ 202,3 juta. Sedangkan pada
tahun 1986, ekspor udang Indonesia
mengalami penurunan menjadi 30.600 ton tetapi nilainya meningkat menjadi US $
284,7 juta. Nilai ekspor udang ini mempakan sekitar 15,45 % dari total nilai
ekspor komoditas nonmigas dari sektor pertanian.
Pada tahun 1987 ekspor udang Indonesia
kembali meningkat menjadi 49.267 ton dengan nilai US $ 435 juta. Sedangkan pada
tahun 1988 meningkat sebesar 27,7 % atau menjadi 56.552 ton udang dengan
kenaikan nilai sebesar 41,83 % atau menjadi US $ 499.859 juta (Sumber: Ditjen
Perikanan). Dengan semakin berkembangnya pengetahuan petani tambak, terutama
dengan adanya penerapan teknologi maju dalam usaha budidaya udang, maka
produksi usaha budi daya ini tahap demi tahap terus menunjukkan peningkatan.
Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tahun 1987, produksi udang
windu, terutama yang berasal dari usaha budidaya mencapai 13.068 ton pada tahun
1985,15.424 ton pada tahun 1986 dan pada tahun 1987 meningkat menjadi 25.202
ton.
Meningkatnya produksi dan ekspor
udang tersebut tidak terlepas dari peranan usaha sarana penunjangnya yang
semakin berkembang seperti : pembenihan udang, peralatan tambak dan pabrik
pakan.
Dengan adanya penambahan input pada
faktor-faktor produksi, salah satu di antaranya adalah pakan, maka laju
pertumbuhan diharapkan dapat dipacu semaksimal mungkin untuk meningkatkan
produksi dalam sistem budidaya. Untuk meningkatkan produksi, diperlukan pakan
yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan udang. Untuk mengubah zat pakan
menjadi zat tubuh diperlukan aktivitas kimiawi dan fisiologis. Zat pakan yang
berada dalam tubuh udang akan diubah menjadi daging, sehingga tercapai produksi
optimal bila udang diberi pakan yang sempurna.
BAB II
PERSYARATAN BIOLOGIS
DAN KEBIASAAN MAKAN UDANG WINDU
A. PERSYARATAN BIOLOGIS
Udang windu (Penaeus monodon) termasuk dalam familia Penaidae. Sub Ordo Natantia, Ordo Decapoda dan Klas Crustacea. Kelompok ini hidup di dasar perairan/bentik, tidak menyukai cahaya terang dan bersembunyi di lumpur pada siang hari. Bersifat kanibal, terutama dalam keadaan lapar dan tidak ada makanan tersedia, mempunyai ekskresi amoniak yang cukup tinggi dan untuk pertumbuhan diperlukan ganti kulit (moulting).
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang adalah sebagai berikut :
1.
Suhu
Udang membutuhkan kisaran
suhu antara 25 hingga 32°C agar dapat hidup dan tumbuh secara normal. Semakin
tinggi suhu perairan, semakin tinggi laju metabolisme di dalam tubuh udang.
Kondisi ini akan diimbangi dengan meningkatnya laju konsumsi pakan. Bila suhu
terus meningkat, udang akan stres dan akan mengeluarkan lendir yang berlebihan.
Sebaliknya bila suhu terlalu rendah, udang akan kurang aktif makan dan
bergerak, sehingga pertumbuhannya akan lambat.
2.
Salinitas
Udang windu mempunyai
toleransi hidup pada kisaran salinitas 4 - 40 permil dan tumbuh dengan baik
pada kisaran 12 - 30 permil. Jika salinitas terlalu rendah atau terlalu tinggi,
nafsu makan masih ada, tetapi konversi pakan menjadi tinggi karena energi tubuh
banyak terbuang.
3. pH
Untuk pertumbuhan, udang
windu memerlukan kisaran pH 7,4 - 8,5 dan akan mematikan bila pH mencapai angka
terendah 6 dan tertinggi 9. Bila pH air terlalu rendah atau sering rendah pada
malam hari, maka lapisan kapur di kulit udang akan berkurang karena terserap
secara internal. Pada kondisi ini konsumsi oksigen meningkat, permeabilitas
tubuh menurun dan insangnya rusak.
4.
Kelarutan Oksigen (DO)
Oksigen diperlukan udang
untuk membakar zat-zat makanan yang dikonsumsi udang dan diserap tubuh atau
diuraikan menjadi energi. Kelarutan oksigen yang baik bagi pertumbuhan udang
adalah antara 85 % - 125 % jenuh atau 4 - 6 ppm. Dalam air yang mengandung
cukup oksigen, aktivitas udang yang terlihat adalah beristirahat dan sesekali
bergerak mencari makan. Sebaliknya dalam air yang kandungan oksigennya rendah,
udang akan tampak aktif bergerak dan berenang karena stres. Akan tetapi, pada
kadar oksigen yang kelewat jenuh dapat menyebabkan penyakit gelembung gas (Gas
Bubble Disease).
B. KEBIASAAN MAKAN
Di alam, udang windu biasa memakan berbagai jenis Crustacea besar, Brachyura, benda-benda nabati, Polychaeta, Mollusca, ikan-ikan kecil dan Crustacea kecil dalam jumlah yang terbatas. Sedangkan udang yang dipelihara di tambak banyak memakan Copepoda. Walaupun udang penaid merupakan hewan pemakan segala (Omnivora), akan tetapi pada umumnya udang merupakan predator bagi invertebrata yang pergerakannya lambat.
Hasil pemeriksaan terhadap isi perut udang windu yang dipelihara di tambak menunjukkan bahwa makanannya terdiri dari plankton jenis Lyngbya sp, Spirulina, Skeletonema dan dari jenis zooplankton yaitu Brachionus sp (Ranoemihardjo, 1980). Walaupun demikian, keadaan lingkungan tempat hidup udang akan berpengaruh terhadap jenis makanan yang dimakan.
Dalam usaha pemeliharaan udang, makanan yang diberikan selain harus mempunyai kualitas yang baikjugajumlahnya harus cukup, sebab kekurangan makanan akan lebih mempercepat kematian hewan yang dibudidayakan. Sampai saat ini nauplius Artemia merupakan salah satu makanan udang yang paling efektif bagi udang stadium Pasca larva maupun Juvenil. Selain itu, nauplius Artemia dapat berperan sebagai penunjang pertumbuhan udang windu. Jika digunakan sebagai suplemen dengan makanan lainnya, ternyata Artemia mempunyai keunggulan dibandingkan dengan makanan udang lainnya. Keunggulan tersebut di antaranya adalah : Artemia diperjual-belikan dalam bentuk kista (Cyst), sehingga praktis dalam penggunaannya, nauplius Artemia mempunyai kisaran ukuran yang cocok bagi kebanyakan larva udang, dapat beradaptasi terhadap berbagai lingkungan dan dapat tumbuh pada kepadatan yang tinggi (Sorgeloos, 1980). Selain itu, Artemia juga mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Pada beberapa perkembangan stadia udang windu, kebiasaan makannya terangkum seperti pada Tabel 1.
Tabel
1. Kebiasaan Makan Udang Windu (Panaeus
Monodon) Pada Beberapa Perkembangan Stadia
|
STADIA
|
JENIS
MAKANAN
|
LOKASI
|
SUMBER
|
1.
2.
3.
4.
|
Zoea-Mysis
Mysis-Pasca
larva
Pasca
larva
Dewasa
|
Phytoplankton
Zooplankton
dan udang-udang kecil
Kepiting
kecil, udang-udangan, molusca, cacing-cacingan, sisa-sisa ikan pasir, Lumpur
Udang-udangan,
cacing-cacingan, alga, Lumpur, molusca, sisa-sisa ikan, bahan yang tidak
teridentifikasi
|
Filiphina
Filiphina
Filiphina
Sudan,
laut merah, pesisir dan muara karapuglia, India, filiphina
|
Villaluz,1969
Villaluz,1969
Maret,
1980
El
Hag, 1984
Thomas
1972
|
BAB III
PERSYARATAN NUTRISI
BAGI UDANG WINDU
Sumber nutrisi (zat gizi) umumnya
diklasifikasikan menjadi lima
kategori, yaitu: protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Untuk
menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya, udang membutuhkan nutrisi yang
secara kualitatif maupun kuantitatif memenuhi persyaratan sesuai dengan
kebutuhan udang tersebut. Zat-zat tersebut harus berada dalam makanan yang
secara fisiologis berfungsi sebagai sumber zat pengatur kelangsungan hidup.
A. PROTEIN DAN ASAM AMINO ESENSIAL
Protein merupakan senyawa organik kompleks, tersusun atas banyak asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein mengandung pula phospor dan sulfur. Protein sangat penting bagi tubuh, karena zat ini mempunyai fungsi sebagai bahan-bahan dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dan pengatur. Sebagai zat pembangun, protein berfungsi dalam membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada.
Mengingat pentingnya protein dalam makanan udang, maka penelitian mengenai kebutuhan protein beberapajenis udang telah dilakukan oleh banyak peneliti. Beberapa hasil penelitian menunjukkan angka kebutuhan protein yang berbeda bagi udang. Perbedaan ini dimungkinkan, karena adanya perbedaan dalam kebiasaan makan (food habit) dan juga sumber protein yang digunakan. Berdasarkan percobaan Deshimaru dan Yone (1978) didapatkan bahwa kadar protein optimum untuk pertumbuhan juvenil Penaeus japonicus dan efisiensi penggunaan makanan berkisar antara 32 - 57 %. Sedangkan peneliti lain seperti Colvin (1976) mendapatkan kadar protein 43 % untuk Penaeus indicus dan Andrews et al. (1972) mendapatkan kadar protein 28 – 32 % untuk Penaeus setiferus. Hasil percobaan Colvin dan Brand (1977) menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan udang Penaeus califomiensis, Penaeus stylirostris dan Penaeus vanamei ukuran pasca larva dibutuhkan 40 % protein dalam makanannya, sedangkan untuk juvenil dibutuhkan protein 30 %. Pada umumnya udang windu juvenil atau dewasa mendapatkan pertumbuhan optimum dengan pemberian makanan yang mengandung 30 – 60 % protein (New, 1976).
Di alam terdapat sekitar 23 macam asam amino yang telah diisolasi, namun hanya beberapa asam amino saja yang esensial bagi udang. Kanazawa dan Teshima (1981) dengan menggunakan isotop radioaktif mendapatkan 10 jenis asam amino esensial untuk Penaeus japonicus yaitu : Arginin, Methionin, Valine, Threonin, Isoleusin, Leusin, Lysin, Histidin, Phenylalanin dan Tryptophan. Sedangkan Shewbart etal. (1972) mendapatkan 11 asam amino esensial bagi Penaeus aztecus yaitu kesepuluhjenis di atas serta tambahan Tyrosin untuk beberapa hewan tingkat tinggi. Tyrosin ini tidak esensial bila terdapat Phenylalanin, akan tetapi tampaknya esensial bagi udang. Sampai saat ini kebutuhan asam amino secara kuantitatifbagi udang belum diketahui. Bagaimanapunjuga penyusunan pakan udang sebaiknya disesuaikan dengan penyebaran asam amino dalam tubuh udang. Pada tabel 2 terlihat komponen penyebaran asam amino udang windu.
Tabel 2. Komponen Penyebaran Asam Amino Udang Windu
Asam Amino Esensial |
Kandungan
(%)
|
Arginin
Methionin
Valin
Threonin
Isoleusin
Leusin
Lysine
Histidin
Phenylalanin
Tyrosin
|
14,62
3,43
4,48
5,51
3,63
6,95
14,86
2,66
2,44
3,99
|
Sumber : Catedral dan
DY-Penaflorida
B. LEMAK
Lemak dibutuhkan sebagai
sumber energi. Keberadaan lemak mempunyai peranan penting pula untuk
pertumbuhan dan kelangsungan hidup, terutama beberapa tipe asam lemak sangat
berpengaruh pada kehidupan udang. Asam lemak juga berfungsi sebagai pelarut
vitamin. Komposisi asam lemak yang ada pada udang sangat erat hubungannya
dengan lemak yang terkandung dalam makanan yang diberikan. Satu gram lemak
dapat menghasilkan 9 kkal per gram sedangkan karbohidrat dan protein hanya
menghasilkan 4 kkal per gram. Khusus bagi organisme perairan, lemak berperan
dalam mengecilkan beratjenis, sehingga organisme dapat melayang di air.
Beberapa peneliti melaporkan
bahwa sumber dan kadar lemak makanan yang diberikan mempunyai pengaruh nyata
terhadap kadar lemak tubuh. Menurut Sick dan Andrews (1973), udang yang diberi
makanan tanpa lemak mempunyai kadar lemak tubuh 4,93 % dari berat kering. Sedangkan
pada pakan yang masing-masing diberi lemak yang berasal dari 10 % lemak sapi,
10 % minyak jagung dan 10 % biji rami, menyebabkan kadar lemak tubuh udang
masing-masing menjadi 7,27 %, 7,82 % dan 8,58 %. Hal ini berarti dibutuhkan
asam lemak tertentu dalam makanan yang diberikan.
Asam lemak mempunyai peranan
penting tidak hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai zat yang
esensial untuk udang (Teshima dan Yone, 1978). Dari beberapa hasil penelitian
telah dibuktikan bahwa udang mempunyai kebutuhan yang unik terhadap sterol dan
fosfolipida yang berbeda dengan organisme perairan lainnya dan mamalia.
Padahewan lain, sterol dapat disintesis dari asetat, sedangkan pada udang tidak
dapat disintesis. Kolesterol merupakan zat yang esensial bagi pertumbuhan dan
kehidupan udang, karena zat ini dapat diubah menjadi hormon seks dan hormon
ganti kulit serta digunakan sebagai unsur pokok hipodermis. Kadar kolesterol
optimal untuk larva dan juvenil adalah sekitar 0,5 % (Kanazawa et al., 1971).
Udang mampu mengubah C28 dan C29 sterols menjadi
kolesterol (Teshima, 1971).
Asam lemak linoleat,
linolenat dan arakidonat merupakan asam lemak esensial yang sangat penting
untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Udang kurang efisien dalam
mengubah asam linoleat dan asam linolenat menjadi asam lemak tidak jenuh yang
lebih besar (Higher poly unsdturated fatty acid) dan perbandingan asam lemak
yang terdapat pada udang substadium PL 1 dan PL 2 adalah 16 : 0,18 : 1,20 : 4
dan 22 : 6. Asam lemak 22 : 6 meningkat secara nyata dari telur sampai PL 1 dan
PL 2, hal ini dimungkinkan karena makanannya mengandung asam lemak tersebut.
Deshimaru et al. (1979),
menyatakan bahwa perbandingan asam linoleat dan linolenat lebih penting
daripada kadar asam lemak tersebut sendiri-sendiri. Selanjutnya dinyatakan
bahwa pemberian lemak 6 % dalam pakan dengan perbandingan kandungan asam
linoleat 10 – 20 % dan asam linolenat 20 – 30 % memberikan pertumbuhan udang
yang cukup baik. Perbandingan asam lemak dalam pakan tersebut didapatkan dengan
cara mencampurkan minyak hati ikan pollack dan minyak kedelai berkisar antara 3
: 1 dan 1 : 1. Lemak yang berasal dari hewan laut umumnya baik sebagai sumber
asam linoleat (Kanazawa et, al., 1979). Sedangkan minyak nabati merupakan
sumber asam linolenat.
Fosfolipida merupakan ester
asam lemak dan gliserol yang mengandung ion fosfat. Minyak dan biji-bijian
banyak mengandung fosfolipida seperti sefalin yang banyak terdapat dalam minyak
kacang kedelai. Fosfolipida lainnya adalah lechitin yang mempunyai bagian yang
larut dalam air. Kanazawa et al. (1979) telah meneliti pengaruh beberapa fraksi
lemak dari minyak tapes dalam pakan udang ternyata mampu memberikan pertumbuhan
yang lebih baik bagi juvenil Penaeus japonicus, sedangkan pemberian 1 % sefalin
dalam makanan udang mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik walaupun tidak
sebaik lechitin namun lebih baik jika dibandingkan dengan tanpa pemberian
fosfolipida sama sekali.
C. KARBOHIDRAT
Karbohidrat merupakan
senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon,
hidrogen dan oksigen dalam perbandingan yang berbeda-beda. Karbohidrat
digolongkan menjadi :
-
Monosakharida
seperti glukosa, galaktosa dan fruktosa
-
Disakharida
seperti sukrosa, maltosa dan trehalosa
-
Polisakharida
seperti dekstrin dan pati.
Udang memeriukan karbohidrat
dalamjumlah yang banyak, karena selain diperlukan sebagai pembakar dalam proses
metabolisme, juga diperlukan dalam
sintesis khitin dalam kulit keras. Walaupun demikian efisiensi penggunaan
karbohidrat oleh udang berbeda, tergantung dari sumbemya, selain itu kemampuan
udang dalam mencerna karbohidrat
juga berbeda berdasarkan jenisnya.
Beberapa peneliti seperti
Andrews et al. (1972), Sick dan Andrews (1973) serta Deshimaru dan Yone (1978)
melaporkan bahwa penambahan glukosa
dalam pakan dapat menghambat pertumbuhan
udang penaeid. Hal ini dilaporkan pula oleh Abdel-Rahman et al. (1979) bahwa penambahan glukosa lebih
dan 10 % dalam pakan dapat
menghambat pertumbuhan Penaeus japonicus. Namun penambahan disakharida dalam
pakan temyata dapat memberikan pertumbuhan yang cukup baik. Beberapa hal yang
menyebabkan penambahan glukosa dalam pakan menghambat pertumbuhan udang adalah karena glukosa tidak dapat diubah
menjadi trehalosa di dalam lambung, tetapi secara cepat diserap dan kemudian
dilepaskan dengan segera ke dalam
darah. Jika banyak glukosa yang diserap, akan didapat kadar glukosa yang tinggi
dalam darah yang biasanya dipertahankan oleh pengendalian hormonal dan sulit
digunakan sebagai sumber energi.
Sedangkan disakharida, seperti maltosa tidak diserap dalam lambung, tetapi diubah menjadi glukosa dalam usus, kemudian
menjadi trehalosa dalam hepatopankreas dan selanjutnya dilepaskan secara
bertahap dalam darah. Dengan demikian maltosa siap digunakan sebagai sumber
energi.
Sebagaimana telah diketahui,
udang mempunyai eksoskeleton yang
disusun oleh khitin yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan. untuk
membentuk dan mengganti eksoskeleton selama
ganti kulit. Hasil percobaan menunjukkan bahwa komponen utama dari eksoskeleton Crustacea disintesis
dari glukosa melalui glusamin. Penambahan
0,52 % glucosamin dalam pakan dapat meningkatkan pertumbuhan Penaeus japonicus, akan tetapi temyata pemasukan khitin secara langsung dapat
menghambat pertumbuhan.
D. MINERAL
Diduga Crustacea dan juga
hewan air lainnya mendapatkan mineral dengan menyerap air, tempat media
hidupnya. Udang memerlukan mineral tertentu selama ganti kulit, karena seperti
diketahui, selama ganti kulit eksoskeleton yang banyak mengandung mineral akan hilang. Conklin et al. (1973)
menyatakan bahwa mineralisasi cangkang
pada juvenil lobster meningkat melalui penambahan kalsium dalam pakan, tetapi
tidak berbeda nyata dalam pertumbuhan maupun
dalam kelangsungan hidupnya. Perbandingan kalsium dan posphor yang optimum untuk juvenil lobster adalah 1 : 2.
Shewbart et al. (1973),
mengemukakan bahwa kalsium, kalium, natrium dan khiorida dibutuhkan oleh
Penaeus aztecus dan dapat diperoleh dari media air laut. Walaupun demikian
sebaiknya phosphor ditambahkan dalam
pakan, karena phospor diperlukan dalam jumlah banyak sedangkan dalam air laut terbatas jumlahnya. Mengenai
kepentingan mineral ini, Deshimaru dan Yone (1978) mengemukakan bahwa dalam pakan Penaeus japonicus
perlu ditambahkan 2 % phospor, 1 % kalsium dan 2 % unsur langka (trace
elements), tetapi tidak perlu
penambahan kalium, magnesium dan besi. Sedangkan menurut Kitabayashi et al. (1971), pertumbuhan terbaik dapat dicapai oleh
Penaeus japonicus melalui pemberian pakan dengan penambahan 1,04 % phospor dan 1,24 % kalsium.
Selanjutnya Kanazawa (1982) melaporkan bahwa penambahan mineral dalam pakan
juvenil Penaeus japonicus yaitu 1% kalsium, 1 % phospor, 0,3 % magnesium, 0,9 % kalium dan 0,006 % tembaga mampu
memberikan pertumbuhan terbaik.
Sedangkan penambahan 0,006 % besi dan 1,003 % mangan dalam pakan menghambat pertumbuhan juvenil Penaeus japonicus.
E. VITAMIN
Penelitian mengenai
kepentingan vitamin dalam pakan udang belum
banyak dilakukan, sehingga data mengenai hal ini masih terbatas. Beberapa
peneliti telah melakukan penelitian tentang kebutuhan vitamin untuk juvenil
Penaeus japonicus. Kanazawa et al. (1976) mengemukakan bahwa pertumbuhan
juvenil Penaeus japonicus, untuk
setiap 100 gram pakan perlu ditambahkan 300 mg vitamin C (ascorbic acid), 400
mg inisitol, 6-12 mg vitamin B1 (thiamin) dan 12 mg vitamin B6 (Pyridoxin). Lightner et al. (1977)
menyatakan bahwa Penaeus
californiensis dan Penaeus stylirostris kadang-kadang menunjukkan gejala tidak
normal yang disebut "Black
death" yang ditandai wama
hitam padajaringan di bawah kulit yang terdapat di seluruh permukaan tubuh,
pada dinding oesophagus, usus, insang dan
celah insang. "Black death"
ini merupakan suatu gejala kekurangan vitamin C. Selanjutnya Lightner etal.
mengemukakan bahwa dalam setiap 1 kg
pakan perlu ditambahkan 2000 mg vitamin C. Penambahan yang cukup banyak ini
dikarenakan vitamin C akan hilang sekitar
90 % dalam proses pembuatan pakan dan hilang sebanyak 40 % dalam proses pemanasan.
BAB
IV
MAKANAN
ALAMI
Makanan alami merupakan
kebutuhan yang mutlak perlu pengadaannya untuk pakan larva udang. Walaupun
banyakjenis plankton yang dapat digunakan sebagai makanan larva udang, namun
untuk makanan alami yang baik hams memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
-
Mempunyai
bentuk dan ukuran yang sesuai dengan mulut larva udang
-
Kandungan
gizinya tinggi
-
Isi
selnya padat dan mempunyai dinding sel yang tipis, sehingga mudah diserap
-
Cepat
berkembang biak dan memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan
faktor lingkungan
-
Tidak
mengeluarkan senyawa beracun
-
Pergerakannya
tidak terlalu aktif, sehingga mudah ditangkap oleh larva udang.
Untuk menjaga ketersediaan
makanan alami untuk larva udang, maka perlu dilakukan kultur makanan alami yang
berkualitas dan kuantitas yang optimal. Beberapa jenis plankton yang sering
digunakan untuk makanan udang adalah Skeletonema
costatum, Tetraselmis chilii, Chaetoceros calcitrans, Brachionus plicatilis dan
Artemia sp.
A. TEKNIK KULTUR PLANKTON
1. Kultur Murni
Cara ini dilakukan dalam
media agar untuk mendapatkan satu species
plankton. Biasanya media agar dipupuk dengan pupuk yang sesuai dengan plankton yang diinginkan. Peralatan yang dibutuhkan,
antara lain, petridish, jarum ose/mikropipet, erienmeyer, pipet, tabung reaksi
dan mikroskop. Seluruh peralatan dan media kultur kecuali mikroskop, sebelum
digunakan harus disterilkan dalam autoclave (temperatur 100°C, tekanan 1
Atmosfir selama 10 menit).
Larutan agar yang telah
dipupuk, dituangkan ke dalam petridish, biarkan
beberapa saat sampai menjadi padat. Ambillah contoh air plankton dengan jarum ose/mikropipet dan oleskan ke permukaan media agar, kemudian ditutup dan
disimpan pada suhu kamar. Beberapa hari kemudian permukaan agar tersebut telah
ditumbuhi koloni-koloni plankton contoh. Dengan menggunakan mikroskop,
masing-masing koloni diamati dan dicari koloni plankton yang dikehendaki. Apabila sudah didapatkan, maka dapat
dikembangkan dalam tabung reaksi dan
digunakan sebagai bibit. Apabila koloni yang diamati masih tercampur dengan
jenis yang lain, maka inokulasi tersebut harus diulangi sampai mendapatkan koloni yang murni. Koloni murni ini diinkubasikan dalam ruangan yang
ber-AC untuk menjaga kestabilan suhu
antara 25 - 27°C.
Kestabilan
suhu antara 25° - 27°C
Gambar
1. teknik kultur alami
2. Kultur Beberapa Jenis Plankton
a. Skeletonema costatum
Kelompok ini mempakan algae
uniseluler yang memerlukan cahaya
matahari untuk proses fotosintesisnya. Sel diatomnya mempunyai kemampuan
menghasilkan skeleton ekstemal silika (frustule). Bentuknya seperti kotak
dengan cytoplasma yang memenuhi isi sel.
Pada sel tersebut terdapat katup besar yang menutup katup yang lebih kecil. Bentuk katupnya sangat
bervariasi, ada yang sirkulasi, eliptical,
polygonal, kubus, segitiga atau tidak beraturan.
Reproduksinya adalah dengan
pembelahan sel, yaitu protoplasma terbagi menjadi dua bagian yang disebut
epitheca dan hypotheca. Masing-masing
bagian dari protoplasma tersebut membentuk epitheca dan hypotheca baru. Dari
pembelahan sel tersebut akan dihasilkan 2
sel yang ukurannya lebih kecil daripada sel induknya.
Gambar2. Skeletonema Costatum
Gambar
3. system reproduksi sel pada skeletonema costatum
TABEL 3. CONTOH PENGGUNAAN PUPUK UNTUK
SKELETONEMA COSTATUM
No
|
JENIS PUPUK |
FORMULA |
||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
||
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
|
KNO3
CO
(NH2)2(UREA)
Na
NO3
Fe
NH4 (SO4)2
KH2PO4
Na
H PO412H2O
Na
H2 PO42H2O
Ca
(H2PO4)
Na-GLYCEROPHOSPHAT
Na2
SiO3
K2 SiO3
KCl
Fe
Cl36H2O
THIAMIN
VIT.
B12
MICRONUTRIEN
TRACE
BUFFER
Na2
EDTA
AIR
LAUT
|
202
mg
7,7
mg
13
mg
5
mg
1
liter
|
100
mg
10
mg
10
mg
5
mg
1
liter
|
60
mg
10
mg
10
mg
1
liter
|
26
mg
23
mg
44
mg
1
liter
|
10
mg
10
mg
1
liter
|
30
mg
150
mg
10
mg
20
mg
1
liter
|
100
mg
10
mg
11
mg
100
mg
1
mg
1
liter
|
Sumber : Liao
I Chiu et al., 1983
b.
Tetraselmis chuii
Kelompok alga hijau (Chlorophyceae) ini mempunyai peranan
penting pula untuk makanan alami larva udang. Species dari kelompok ini adalah
bersel tunggal dan mempunyai flagella serta mengandung banyak pigmen hijau (khlorophil), sehingga jika dilihat di
bawah mikroskop tampak berwama hijau dengan plastida khioroplast. Pigmennya
terdiri dari dua macam, yaitu; khiorophil a dan khiorophil b, serta sedikit
pigmen lain yaitu caroten, xanthophyl dan carotenoid merah. Inti sel terlihat
jelas dan berukuran kecil, dinding sel mengandung bahan selulosa dan pektosa.
Kelompok ini hidup kosmopolit dan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan
lingkungan.
Reproduksinya terjadi secara
vegetatif aseksual dan seksual. Pada reproduksi aseksual, terjadi pembelahan
protoplasma dari 2, 4, 8 dan seterusnya dalam bentuk zoospora setelah
dilengkapi dengan 4 buah flagella. Pada reproduksi seksual, setiap sel
mempunyai gamet yang identik (isogami) yang kemudian menurunkan zygote baru dan
diikuti dengan perkembangan zygote yang sempurna.
Gambar
5. Sistem Reproduksi pada Tefraselmis Chuii
Di bawah ini formula Wayne
Medium untuk kultur Tetraselmis chuii dan beberapa algae lainnya.
Stock
A :
Fe Cl3 6H2 O 1,30
gram
Mn CI2 4H2 O 0,36
gram
H3 BO3 33,60
gram
EDTA (Na salt) 45,00 gram
Na H2 PO4 2H2
O 20,00
gram
NaNO3 100,00 gram
Trace metal solution 1,0 ml
Air suling (Destilled water) 1,0 I
Tambahkan 1 ml stock A untuk 1 liter air
laut.
Stock
B :
Vitamin B12 (Cyanobalamin) 10 mg
Vitamin B1 (thiamin) 200 mg
Air suling (Destilled water) 100 ml
Tambahkan 0,1 ml stock B untuk 1 liter air
laut.
Trace Metal Solution :
Zn Cl2 2,1
gram
Co Cl2 6H2 O 2,0
gram
(NH4)6 Mo7 O24
4H2O 0,9
gram
Cu SO4 5 H2 O 2,0
gram
Air suling (Destilled water) 100 ml
Sumber : Liao I Chiu, 1983.
c.
Chaetoceros calcitrans
Chaetoceros termasuk dalam
kelompok diatomae (Bacillariophyceae) yang mempunyai banyak species yang
dimungkinkan untuk pakan larva udang. Jenis yang sering digunakan adalah
Chaetoceros calcitrans
Gambar
6. Chaetoceros sp
yang mempunyai karakteristik toleransi yang
tinggi terhadap temperatur. Bila kulturnya dilakukan pada temperatur 40°C,
tidak terdapat pigmentasi, sedangkan pada temperatur 20 -30°C pertumbuhan
terjadi secara normal, sedangkan temperatur yang optimal adalah 25 - 30°C.
Salinitas minimal yaitu 6 permil akan tetapi yang optimal adalah 17 - 25
permil.
Formulasi pupuk untuk Chaetoceros sp :
Jenis nutrien Konsentrasi
(mg/liter)
NH4 NO3 79,2
NH2 PO4 10,0
Na2 Si O3 15,0
Fe Cl3 1,3
EDTA 10,0
Trace Metal Medium :
-
Na
NO3 150
mg
-
Na
H2 PO4 2H2 O 10
mg
-
Na2
SiO3 10
mg
-
Mikronutrien 1
ml
-
Air
laut 1
liter
Mikronutrien
: 7,3 gram Na2
EDTA, 6 gram Fe C136H2O, 12 mg Na2Mo O42H2O,
44 mg Zn SO47H2O, 360 mg Mn Cl24H2O,
20 mg CoCl26H2O, 2 mg CuSO4 5H2O.
Seluruhnya dilarutkan dalam air suling (destilled water) 1 liter.
d.
Brachionus plicatilis
Kelompok ini termasuk dalam
phyllum Rotifera, klas Mogononta, Ordo Ploima, familia Crachionidae, genus
Brachionus.
Kultur Rotifera ini dapat
dilakukan dalam bak kayu volume 300 liter dengan salinitas 18 permil. Setelah
peralatan dibersihkan, air cukup disaring dengan saringan 60 mikron. Produksi
Rotifera ini sangat tergantung pada penyediaan pakannya. Beberapajenis pakan
hidup yang dapat dipergunakan untuk pakan Rotifera adalah : Chlorella sp,
Tetraselmis sp dan ragi roti. Dari antara beberapa jenis tersebut yang paling
banyak dipakai adalah Chlorella sp.
Cara yang praktis untuk
kultur Brachionus plicatilis yaitu dengan menginokulasikan pada tangki yang
telah diisi air laut dan telah ditumbuhi chlorella.
Gambar
7. Brachionus plicatilis
TABEL
4. PUPUK UNTUK CHLORELLA SP.
Jenis Pupuk |
Konsentrasi
(mg/liter)
|
|||
-
Amonium sulfat
-
Urea
-
Calcium
superhospat
-
Clewat
-
N : P (16 : 20)
|
150
7,5
25
-
-
|
100
5
15
5
-
|
300
-
50
-
-
|
100
10
– 15
-
-
10
- 15
|
Clewat 32 adalah produk komersial yang mengandung mikronutrien |
Sumber; Liao I Chiu, 1983
B. PENYEDIAAN NAUPLII ARTEMIA
Kebutuhan Artemia sebagai pakan hidup bagi pasca larva udang merupakan persyaratan yang mutlak disediakan, karena sampai saat ini kedudukan Artemia belum dapat digantikan dengan yang lain. Cyst yang disediakan untuk pakan tersebut perlu ditetaskan terlebih dahulu. Adapun kualitas penetasan cyst dapat dilihat dari berbagai penilaian, yaitu :
- Hatching Efficiency (HE) yaitu banyaknya nauplii yang menetas dari 1 gram cyst Artemia.
- Hatching Percentage (H %) ialahjumlah nauplii yang menetas dibandingkan dengan jumlah cyst yang digunakan.
- T0 : Masa inkubasi yang diperlukan sampai terjadi penetasan nauplii yang pertama.
- T90 : Masa inkubasi yang diperlukan hingga mencapai 90 % penetasan.
Gambar
8. Cyst Artemia
Gambar
9. nauplii artemia yang baru menetas
Dalam prakteknya, penyediaan pakan
hidup Artemia harus melalui proses dekapsulasi terlebih dahulu, karena akan
diperoleh beberapa keuntungan, yaitu :
-
Tidak perlu adanya pemisahan
nauplius dari cangkang, karena chorion cyst sudah dihilangkan.
-
Kandungan energi lebih tinggi
karena tidak dipakai untuk proses penetasan.
-
Cyst telah disucihamakan
melalui larutan hipokhlorit.
-
Dapat langsung digunakan untuk
makanan larva.
-
mengurangi jumlah tenaga kerja.
Adapun langkah-langkah prosedur dekapsulasi adalah sebagai berikut :
1. Hidrasi cyst
2. Perlakuan dalam larutan hipokhlorit
3. Pencucian dan diaktivasi residu khiorin
4. Dapat digunakan secara langsung sebagai makanan atau didehidrasi
untuk penyimpanan.
1. Hydrasi Cyst
Penghilangan lapisan khorion yang
sempuma hanya dapat dilakukan jika cyst berbentuk bulat. Untuk mendapatkan
keadaan itu, cyst harus dibiarkan menggembung dengan cara hidrasi. Umumnya
hidrasi penuh dapat tercapai setelah 1 - 2 jam dengan air tawar atau air laut
(maksimal 35 permil) pada suhu 25°C.
2.
Perlakuan dalam Larutan Hipokhlorit
Untuk perlakuan dekapsulasi,
dapat digunakan larutan NaOCI atau Ca (OCl)2 yang lebih dikenal
dengan kaporit. Jika NaOCI yang digunakan, maka Natrium dan OCl terionisasi
dalam larutan dan terbentuk HOCl dalam air, sedangkan jika Ca (OCl)2
yang digunakan akan dihasilkan 2 ion OCl untuk setiap molekul hipokhlorit.
Dapat dikatakan bahwa OCl berperan dalam khorion, tetapi hal ini masih belum
pasti. Aktivitas dan konsentrasi maksimal adalah pada PH 10, dibandingkan pada
PH rendah. 0,5 gram bahan aktifdan 14 ml larutan dekapsulasi diperlukan untuk
dekapsulasi 1 gram cyst. Di banyak negara, Ca (OCl)2, lebih murah
sebagai sumber khiorin aktifdaripada Na Ocl2 Ca (OCl)2
merupakan produk yang lebih stabil daripada Na OCl dan dapat disimpan dalam
waktu yang lebih lama. Aktivitas Ca (OCl)2 biasanya tepat seperti
yang dinyatakan dalam label dari produk komersial (umumnya 70 % bahan aktif).
Aktivitas larutan Na OCl dapat ditentukan dengan mengukur indeks refraktif pada
refraktometer. Nilainya adalah :
Y = 3000 X-4003
Y = Aktivitas Na OCl dalam gram per liter
X = Indeks refraktif.
Dengan Na OCl, 0, 15 gram NaOH
teknis (0,33 ml, 40 % larutan) harus ditambahkan dalam tiap gram cyst untuk
meningkatkan PH larutan dekapsulasi sampai sekitar 10. Jika yang digunakan
Ca(OCl)2 maka 0,67 gram Na2CO3 atau 0,4 gram
CaO harus dibuat dengan air laut 35 permil. Untuk Ca (OCl)2, yang
digunakan adalah cairannya saja, dengan cara mencampurkannya dengan air laut,
volume telah ditentukan dan diaerasi kuat selama sekitar 10 menit. Selanjutnya
aerasi dimatikan dan suspensi dibiarkan mengendap serta cairan yang mengandung
larutan Ca (OCl)2, dapat digunakan untuk dekapsulasi.
Setelah pemindahan cyst dalam
larutan dekapsulasi, maka harus dipertahankan dalam keadaan suspensi dengan
aerasi secara kontinu. Dalam beberapa menit mulai terjadi reaksi oksidasi
eksotermik dan tumbuh busa. Sejalan dengan larutnya khorion, terjadi perubahan
warna cyst, yaitu dari coklat tua ke abu-abu, kemudian oranye. Selama
dekapsulasi, temperatur harus diperiksa secara teratur dan es harus ditambahkan
untuk mencegah peningkatan temperatur di atas 40°C. Jika cyst dipertahankan
dalam larutan dekapsulasi, akan membunuh embrio. Oleh karena itu, cyst harus
dipindahkan segera dari larutan setelah proses selesai. Penyelesaian proses
dapat dilakukan dengan pengamatan secara periodik setelah adanya perubahan
warna dari cyst yang didekapsulasi.
3.
Pencucian dan Diaktivasi Residu Khiorin
Selama perlakuan, larutan
dekapsulasi bereaksi terhadap khorion cyst. Akibat reaksi tersebut, terbentuk
beberapa senyawa organokhiorin yang melekat pada cyst hasil dekapsulasi yang
dapat mengurangi kualitas dan kegunaan cyst yang didekapsulasi. Oleh karena
itu, setelah pencucian dapat ditambahkan 1 % Na2S203,
sebanyak 0,5 ml/gram cyst sehingga membentuk persenyawaan yang larut dengan
persenyawaan organokhlorin. Dengan demikian dapat menghilangkan sisa-sisa
larutan dekapsulasi pada cyst tersebut.
4.
Penggunaan Langsung Cyst atau Dehidrasi untuk Penyimpanan
Cyst hasil dekapsulasi dapat
diberikan langsung kepada predator jika diperlukan. Cyst ini dapat disimpan
untuk beberapa hari dalam refrigerator pada suhu 0 - 4°C. Karena dapat
tenggelam dalam air tawar maupun air laut, maka waktu digunakan langsung
sebagai pakan predator, diperlukan aerasi dan sirkulasi cukup untuk
mempertahankan cyst dalam suspensi. Untuk penyimpanan cyst hasil dekapsulasi,
dehidrasi hams dilakukan setelah selesai prosedur diaktivasi dan pencucian.
Untuk itu, cyst harus dipertahankan dalam larutan jenuh Nad (± 330 gram/liter).
Setelah sekitar 3 jam, larutan garam harus diganti untuk mengefektifkan
dehidrasi. Jika didehidrasi, cyst dekapsulasi akan menjadi seperti biji kopi
dan tenggelam walaupun dalam larutan garam jenuh. Cyst dekapsulasi yang
terhidrasi ini harus ditiriskan dan dengan menggunakan saringan 120 mikron,
dipindahkan ke dalam wadah plastik, ditambahkan larutan garam dan disimpan
dalam refrigerator atau freezer.
Penyimpanan cyst dekapsulasi
dalam larutan garam mempunyai keterbatasan. Selama 6 bulan pertama setelah
dekapsulasi, cyst masih dapat mempertahankan daya tetas maksimalnya, sekalipunj
ika disimpan pada temperatur 20°C.Untukperiode yang lebih lama, kelangsungan
hidup cyst tampaknya menurun. Penurunan daya tetas cyst dekapsulasi yang
disimpan dalam larutan garam mungkin disebabkan oleh kandungan aimya yang
relatif tinggi (sekitar 20 %). Penyimpanan untuk waktu yang lama dari cyst
dekapsulasi kering (kandungan air di bawah 5%) memungkinkan jika disimpan dalam
keadaan kering dalam media yang bebas oksigen (wadah diisi nitrogen atau hampa
udara).
C. PRODUKSI BIOMASSA ARTEMIA
Sebagaimana telah
dijelaskan, Artemia merupakan salah satu makanan hidup yang sampai saat ini
paling banyak digunakan dalam usaha budidaya udang, khususnya dalam pengelolaan
pembenihan. Sebagai makanan hidup, Artemia tidak hanya dapat digunakan dalam
bentuk nauplius, tetapi juga dalam bentuk dewasanya. Bahkan jika dibandingkan
dengan naupliusnya, nilai nutrisi Artemia dewasa mempunyai keunggulan, yakni
kandungan proteinnya meningkat dari rata-rata 47 % pada nauplius menjadi 60 %
pada Artemia dewasa yang telah dikeringkan. Selain itu kualitas protein Artemia
dewasa juga meningkat, karena lebih kaya akan asam-asam amino essensial.
Demikian pula jika dibandingkan dengan makanan udang lainnya, keunggulan Artemia
dewasa tidak hanya pada nilai nutrisinya, tetapi juga karena mempunyai kerangka
luar (eksoskeleton) yang sangat tipis, sehingga dapat dicerna seluruhnya oleh
hewan pemangsa.
Melihat keunggulan nutrisi
Artemia dewasa dibandingkan dengan naupliusnya dan juga jenis makanan lainnya,
maka Artemia dewasa merupakan makanan udang yang sangat baikjika digunakan
sebagai makanan hidup maupun sumber protein utama makanan buatan. Untuk itulah
kultur massal Artemia memegang peranan sangat penting dan dapat dijadikan usaha
industri tersendiri dalam kaitannya dengan suplai makanan hidup maupun bahan
dasar utama makanan buatan.
Untuk dapat diperoleh
biomassa Artemia dalam jumlah cukup banyak, harus dilakukan kultur terlebih
dahulu. Produksi biomassa Artemia dapat dilakukan secara ekstensif pada tambak
bersalinitas cukup tinggi yang sekaligus memproduksi Cyst (kista) dan dapat
dilakukan secara terkendali pada bak-bak dalam kultur massal ini. BBAP (Balai
Budidaya Air Payau) Jepara telah berhasil melakukan penerapan metode untuk
mendapatkan produksi biomassa dan cyst Artemia secara berkesinambungan di
tambak bersalinitas tinggi. Teknologi yang dihasilkan ini sesungguhnya dapat
diserap oleh masyarakat, khususnya para petani yang memiliki tambak garam.
Sedangkan dalam hal produksi biomassa pada bak-bak secara terkendali, telah
pula dibuat modifikasi teknik kultur yang sangat memungkinkan dapat diterapkan
oleh para pengusaha pembenihan, bahkan dapat dijadikan usaha industri skala
rumah tangga. Dalam melakukan kultur massal Artemia secara terkendali
berdasarkan metode yang dikembangkan oleh BBAP Jepara, diperlukan beberapa
persyaratan sebagai berikut :
1. Bak
Pemeliharaan dan Perlengkapan
Kultur Artemia dapat
dilakukan pada bak-bak yang terbuat dari tembok, bak kayu berlapis plastik
maupun bak dari fiberglass. Kapasitas bak tersebut minimal 1 ton air, Pada
usaha pembenihan udang,
Gambar
10. konstruksi bak sengan system air berputar
kultur Artemia ini dapat dilakukan pada
bak-bak untuk pemeliharaan larva udang. Bak kultur tersebut harus dilengkapi
dengan peralatan aerasi dan jika memungkinkan dilengkapi dengan air lift untuk
membuat sistem air berputar.
2.
Makanan
Karena cara makan Artemia
adalah dengan menyaring (Filter feeder), maka diperlukan makanan dengan ukuran
partikel khusus, yaitu lebih kecil dari 60 mikron. Makanan yang diberikan dapat
berupa makanan buatan maupun makanan hidup atau plankton. Makanan buatan yang
memberikan hasil cukup baik dan mudah didapat adalah dedak halus. Cara
pemberiannya harus disaring terlebih dahulu dengan saringan 60 mikron.
Sedangkan plankton yang dapat digunakan sebagai makanan Artemia adalah jenis
plankton yang juga digunakan sebagai makanan larva udang, seperti Tetraselmis
sp, Chaetoceros sp, Skeletonema sp. Oleh karena itu kultur Artemia dengan
plankton sebagai makanan alami lebih mudah dilakukan dalam suatu unit usaha
pembenihan udang.
3.
Prosedur Pemeliharaan
Untuk mendapatkan biomassa
Artemia, nauplius Artemia dikultur dalam beberapa hari. Lama pemeliharaan
tergantung pada ukuran Artemia yang dikehendaki. Jika Artemia digunakan sebagai
makanan juvenil udang, maka lama pemeliharaan sekitar 7 hari, sedangkan jika
digunakan sebagai makanan udang dewasa maupun untuk diproses sebagai bahan baku
makanan buatan, maka lama pemeliharaan sekurang-kurangnya 15 hari.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengkultur Artemia adalah sebagai
berikut :
- Tetaskan cyst Artemia untuk menghasilkan nauplius. Jumlah cyst yang ditetaskan 10 - 15 gram untuk 1 ton air dengan perhitungan efisiensi penetasannya adalah 200.000 nauplius/gram cyst.
- Isi bak dengan air bersalinitas antara 20 - 35 permil yang disaring terlebih dahulu.
- Tebarkan nauplius Artemia yang baru menetas dan aerasi medium pemeliharaan.
- Berikan makanan (dedak halus atau plankton) jumlahnya ditentukan berdasarkan kecerahan air medium pemeliharaan. Pemberian makanan ini dilakukan sampai kecerahan air antara 15 – 20 cm dan dipertahankan terns selama masa pemeliharaan. Untuk mengukur kecerahan air medium pemeliharaan dapat digunakan "tingkat kecerahan" yang berskala (dalam centimeter). Selama pemeliharaan, amati perkembangan Artemia, yaitu pertumbuhan dan perkiraan yang masih hidup.
- Setelah lama pemeliharaan tertentu, 7 sampai 15 hari, dapat dilakukan pemanenan biomassa Artemia. Caranya adalah matikan aerasi dan biarkan sekitar 15 menit. Artemia akan muncul di permukaan dan selanjutnya dipanen dengan menggunakan seser, lalu dicuci. Biomassa Artemia dapat langsung diberikan kepada udang yang disesuaikan dengan ukurannya atau disimpan dalam bentuk segar (dalam freezer) maupun dikeringkan untuk dibuat tepung Artemia.
BAB V
PAKAN BUATAN
Pakan buatan merupakan suatu alternatif
yang penyediaannya secara kontinu memungkinkan dan dapatdigunakan sebagai
pengganti atau pelengkap makanan hidup. Akan tetapi kenyataannya pembuatan
secara komersial untuk udang mempunyai harga yang relatif cukup tinggi, karena
sebagian besar masih diimpor. Walaupun demikian masih ada cara yang dapat
dilakukan untuk membuat pakan udang secara sederhana dan murah. Dengan demikian
selain dapat mengambil manfaat karena menggunakan pakan buatan sendiri juga
dapat menekan biaya operasional. Contoh spesifikasi kebutuhan nutrisi untuk
pakan udang dan sumber asal bahan, tertera seperti pada Tabel 5.
A. TEKNIK PEMBUATAN PAKAN LARVA
Berdasarkan teknik pembuatahnya, pakan untuk larva udang dapat dibuat dalam bentuk basah dan kering.
Keuntungan pakan berbentuk basah adalah :
- Dapat dibuat dengan peralatan yang sederhana.
- Secara biologis udang lebih menyukai makanan yang lunak daripada yang kering.
- Pemanasan dan pengeringan dapat dihindari, sehingga dapat mencegah kehilangan nutrien dalam pakan.
Kerugiannya adalah :
- Mudah rusak karena mikroorganisma, kecuali jika ditambahkan bahan pengawet.
TABEL 5.
SPESIFIK KEBUTUHAN NUTRISI UNTUK PAKAN UDANG DAN SUMBER ASAL BAHAN
NO
|
NUTRISI
|
LEVEL PERKIRAAN
|
SUMBER
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
|
Kadar
air
Protein
kasar
Lemak
kasar
20
– 5 n3 atau
22
: 6 n3
Cholesterol
Lecithin
(Phospholipida)
Serat
kasar
Nitrogen
Ekstrak bebas (Karbohidrat yang dapat dicernakan)
Abu
Kalsium
(Ca)
Phospat
(P)
Magnesium
(Mg)
Kalsium
(K)
Copper
(Cu)
Mangan
(Mn)
Besi
(Fe)
Selonium
(Se)
Seng
(Zn)
Yodium
(I)
Vitamin
Energi
Metabolik
|
< 10 %
38 – 46 %
(Tergantung ukuran)
5 – 7 %
0,5 – 1,0 %
0,3 – 0,6 %
1,0 – 1,5 %
< 4 %
20 – 26 %
8 – 15 %
2,5 – 4 %
1 – 1,5 %
0,1 – 0,3 %
0,8 – 1,5 %
10 – 20 mg/kg
20 – 40 mg/kg
20 – 40 mg/kg
1 – 2 mg/kg
50 – 100 mg/kg
10 – 20 mg/kg
(Lihat table 2)
3200 kal/kg
|
Tepung
Ikan, Tepung udang
Tepung
cumi, Tepung Kedelai
Minyak
dari ikan laut & jenis invertebrate
Lecithin
Kedelai
Terigu,
ekstrak jagung, bakatul.
Daging,
tepung tulang
Tulang
ikan, Deka Kal Pos
Kulit
Oyster, natrium, Phospat
Magnesium
Chlorida atau karbonat
Magnesium
Chlorida atau karbonat
Copper
Oksida atau sulfat
Mangan
Oksida atau sulfat
Ferrosulfat
atau karbonat
Sedium
Selenito
Seng
Oksida atau sulfat
Kalium
Iodine
|
-
Nutrien
mudah teroksidasi, khususnya asam askorbat, kecuali bila disimpan dalam keadaan
beku.
-
Jaringan
daging pada pakan yang basah (tidak dipanaskan) dapat mengandung enzim anti
thiamin.
Contoh pakan dalam bentuk basah
adalah mikrokapsul telur (egg microcapsulated diet) dan puding telur (egg
custard). Sedangkan pakan dalam bentuk kering adalah artifisial plankton dan
flake diet (pakan berbentuk serpihan).
1. Egg
Microcapsulated
Dasar pertimbangan penggunaan telur
bagi pakan larva adalah karena telur mempunyai nilai nutrisi yang cukup tinggi,
mudah didapat dengan harga relatif murah, mempunyai keseimbangan dalam nutrisi
yang dikandungnya. Komposisi kandungan nutrisi pada telur ayam dapat dilihat
seperti di bawah ini :
Tabel 6. Komposisi Komponen
Telur Ayam (Chow, 1978)
|
Telur utuh |
Putih
telur
|
Kuning
telur
|
Protein
(%)
Lemak
(%)
Energi
(kkal/kg)
Energi
metabolis (kkal/kg)
Rasis
protein
Kalsium
(%)
Phospor
(%)
|
48,8
43,2
5,830
4,810
9,8
0,2063
0,873
|
76,9
-
3,070
2,533
3,3
0,0427
0,282
|
43,8
62,2
6,910
5,700
17,3
0,2653
1,020
|
Telur mentah mengandung zat avidin
yang dapat menghambat pertumbuhan, sehingga zat tersebut harus dihilangkan dulu
melalui pemanasan sebelum diberikan kepada larva udang. Walaupun demikian,
pemanasan dapat menyebabkan pemisahan kuning dan putih telur sebagai akibat
denaturasi protein. Untuk mengikat kedua bagian tersebut menjadi pakan yang
homogen stabil dalam air, diperlukan penambahan bahan pengikat (binder) yang
sesuai dan itu berarti merupakan penambahan biaya. Oleh karena itu, dalam
pembuatannya diperlukan metode tertentu dan produk yang dihasilkan harus
mempunyai persyaratan sebagai berikut :
a. Mempunyai nilai gizi tinggi dan bebas dari zat avidin.
b. Ukuran dan tekstur produk harus dapat diterima oleh larva udang.
c. Mempunyai ketahanan dalam air (water stability) yang cukup
baik.
d. Mutunya tidak cepat menumn karena aktivitas mikroba dalam air.
e. Dapat disimpan dengan baik melalui penyimpanan biasa.
f. Mudah dalam pembuatan.
Prosedur yang dapat digunakan dalam
pembuatan mikrokapsul telur yang memenuhi persyaratan tersebut di atas adalah
sebagai berikut :
a. Isi telur dimasukkan dalam wadah yang cukup kuat.
b. Telur dikocok kuat-kuat dengan menggunakan blender sampai homogen.
c. Air mendidih (kira-kira 150 cc per satu butir telur) dicampurkan
dengan cepat ke dalam wadah dan diaduk merata. Melalui proses ini akan
didapatkan suspensi yang mengandung butiran-butiran yang sangat halus.
d. Air dingin ditambahkan ke dalam wadah sampai volume yang
dikehendaki. Setiap 50 gram telur mengandung sekitar 12 gram bahan kering.
e. Pemberian pakan kepada larva udang dapat dilakukan langsung dengan
sendok atau sprayer.
f. Makanan yang tidak digunakan disimpan dalam wadah tertutup dan
ditempatkan dalam refrigerator.
Dalam pakan mikrokapsul telur dapat
juga ditambahkan beberapa vitamin dan kalsium yang penting bagi pertumbuhan
larva udang, karena kemungkinan telur kurang mengandung zat-zat tersebut. Penambahan
vitamin dan kalsium dilakukan selama pembuatan pakan tahap kedua. Selain itu
perlu juga ditambahkan bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, seperti tepung
terigu dan tepung tapioka. Sebelum ditambahkan, bahan tersebut digiling menjadi
partikel yang sangat halus terlebih dahulu.
2. Egg
Custard
Pembuatan egg custard, pada
prinsipnya sama dengan microencapsulated diet, karena bahan utama yang
digunakan sebagai sumber protein berasal dari telur. Akan teta'pi dapat juga
digunakan bahan tambahan untuk sumber protein yang berasal dari bahan hewani
yang mempunyai jaringan daging lunak, seperti kerang, tiram, artemia dewasa.
Sebagai contoh, bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan egg custard adalah
telur 35 %, kerang segar 35 %, tepung terigu 20 %, minyak ikan 5 %, vitamin
premix 3 % dan kalsium 2 %. Prosedur pembuatan egg custard dengan bahan-bahan
tersebut adalah sebagai berikut :
- Bahan-bahan dihancurkan sampai homogen dengan menggunakan blender.
- Bahan yang telah dihaluskan dituangkan ke dalam wadah yang cukup kuat, kemudian dikukus. Selanjutnya akan terbentuk emulsi padat semacam puding.
- Pemberian pakan dapat dilakukan langsung kepada larva udang setelah memecah dan menyaringnya terlebih dahulu sesuai dengan ukuran partikel yang dikehendaki. Ukuran saringan yang digunakan disesuaikan menurut stadium larva, yaitu :
-
Saringan
5 - 30 mikron untuk stadium zoea
-
Saringan
40 - 90 mikron untuk stadium mysis
-
Saringan
90 - 250 mikron untuk stadium post larva 1 – 15
-
Pakan
yang tidak digunakan disimpan di refrigerator.
3.
Pakan Berbentuk Flake (Flake Diet)
Pembuatan pakan dalam bentuk
flake, memerlukan peralatan yang spesifik yang dikenal dengan nama "Electro
Steam Double Drum Dryer". Dengan alat tersebut akan dihasilkan pakan
buatan kering seperti kertas. Ukuran ketipisan serpihan dapat diukur pada alat
tersebut, dengan cara mengaturjarak double dryer. Adapun flow chart alat
tersebut dapat dilihat seperti pada gambar.
Salah satujenis pakan yang
cukup baik untuk larva udang dan banyak diperjualbelikan adalah "Brine
Shrimp Flake" (Anemia Flake). Jenis pakan tersebut banyak diimpor dari
Taiwan.
Umumnya semua pembenihan udang menggunakanjenis ini dalam setiap siklus
pemeliharaannya. Keuntungan pakan flake, selain mempunyai bentuk fisik yang
sesuai juga praktis dalam pemberiannya.
Gambar
11. Electroteam Double Drum Dryer
Teknologi pembuatan pakan flake tersebut
telah berhasil dikembangkan oleh Balai Budidaya Air Payau Jepara. Adapun cara
pembuatan pakan flake tersebut adalah sebagai berikut :
- Seluruh bahan disaring dengan menggunakan saringan 100 mikron.
- Campurkan dan aduk sampai homogen dengan menggunakan mixer.
- Tambahkan air secukupnya sehingga terbentuk larutan kental (solution).
- Panaskan alat, aturlah tekanan dan temperatur (temperatur tidak lebih dari 80°C).
- Bahan yang telah homogen, kemudian diproses dengan Electro steam double drum dryer.
- Hasil yang akan didapat adalah pakan flake dalam keadaan kering.
Pakan flake ini biasanya digunakan
untuk udang stadium pasca larva (PL 1-PL 15), yaitu dengan cara diremah terlebih
dahulu. Walaupun demikian, pakan flake ini juga dapat digunakan untuk udang
stadium zoea dan mysis, caranya : flake tersebut disaring dengan menggunakan
saringan 25 - 30 mikron.
Formulasi Pakan Flake (Laboratorium BBAP
Jepara, 1988)
Formula A : Kandungan nutrisi :
Tepung Artemia 60 %
Protein 46,20 %
Tepung ikan 15
% Lemak 5,5 %
Yeast 5
% BETN
15,30 %
Na-Alginate 4
% Serat
kasar 2,40 %
Terigu 5
% Air 2,9
%
Telur 2
% Ca 2,83 %
Vit Mix 3
% P 1,52 %
Emuisi lemak 3
%
Lecithin, Atractan,dll. 3 %
Formula B : Kandungan nutrisi :
Tepung basah 50
% Protein 46,20 %
Tepung udang 20
% Lemak 4,50 %
Yeast 10
% BETN 15,30 %
Gellatinen 4
%
Terigu 5
%
Telur 3
%
Vit Mix 3
%
Emuisi lemak 3
%
Lecithin, atractant, dll 3 %
Formula C : Kandungan
nutrisi :
Tepung Artemia 55 % Protein 48,2 %
Tepung cumi 20
% Lemak 5,1 %
Yeast 5
% BETN 15,8 %
Progress I 4
% Serat kasar 2,8 %
Terigu 5
% Air 5,3 %
Telur 2
% Ca 2,41 %
Vit mix 3
%
4.
Bioenkapsulasi Nauplius Artemia
Bioenkapsulasi adalah suatu
cara untuk memperkaya medium penetasan nauplius Artemia dengan pemberian asam
lemak esensial (W3-HUFA, Highly Unsaturated Fatty Acid). Asam lemak esensial
tersebut bisa didapatkan dari lemak minyak ikan atau invertebrata laut lainnya.
Dasar penggunaan teknik
bioenkapsulasi pada nauplius Artemia adalah karena sifat Artemia sebagai
penyaring makanan (Filter feeder) yang tidak selektif, maka variasi nutrisi
Artemia untuk setiap strain yang berbeda dalam akti vitas biologiknya dapat
diatasi melalui peningkatan kualitas nutrisi dengan cara manipulasi makanannya.
Dengan demikian nauplius Artemia yang dihasilkan akan berkualitas tinggi
sehingga akan mampu menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang
yang memangsanya (Kontara, 1989).
Cara Bioenkapsulasi :
Bahan yang digunakan untuk
bioenkapsulasi nauplius Artemia berasal dari lemak yang mengandung W3-HUFA
cukup tinggi, dalam hal ini digunakan minyak hewani yang berasal dari laut.
Untuk dapat digunakan sebagai bahan bioenkapsulasi, minyak ikan terlebih dahulu
diemulsikan dalam air dan kuning telur ayam dengan menggunakan homogenizer atau
blender selama tiga menit. Perbandingan minyak ikan, air dan kuning telur ayam
adalah 7 : 2:1.
Nauplius Artemia yang sudah
menetas, yang berasal dari wadah penetasan, selanjutnya diperkaya
(bioenkapsulasi) dengan emulsi minyak ikan. Wadah yang digunakan untuk
bioenkapsulasi sama dengan wadah yang digunakan untuk penetasan cyst Artemia
dan dilakukan aerasi secara kontinu. Kepadatan nauplius Artemia yang digunakan
dalam bioenkapsulasi adalah sebanyak ± 300.000 nauplius Artemia per liter air laut
(± dari 1,5 gram cyst Artemia) dengan pemberian emuisi antara 0,5 - 1,0 gram.
Lama bioenkapsulasi adalah antara 12 - 24 jam.
B. TEKNIK PEMBUATAN PAKAN UNTUK PEMBESARAN DI TAMBAK
Pakan untuk udang pada dasamya dapat dibagi menjadi beberapa bentuk dan ukuran. Bentuk dan ukuran ini disesuaikan dengan ukuran udang yang sedang dikultur. Adapun bentuk dan ukuran pakan untuk pemeliharaan udang dapat dibagi menjadi 6 tipe yaitu :
Powder (serbuk) : ukurannya lebih kecil dari 20 mikron, diberikan pada udang stadium larva
Flake (serpihan) :
ukuran Ø lebih kecil dari 0,5 mm, diberikan pada udang PL 1 - PL 15
Crumble (remahan) : ukuran Ø 1 mm, diberikan pada udang PL
20 - 1 gram
Pellet :
ukuran Ø 1 - 1,5 mm, untuk udang ukuran 1 - 5 gram
Pellet :
ukuran Ø 1,5 - 3,5 mm, untuk udang ukuran 5 - 10 gram
Pellet :
ukuran Ø 3,5 - 3,0 mm, untuk udang ukuran 10 gram.
Bahan baku pakan untuk pembesaran udang di tambak
dapat berasal dari bermacam-macam sumber asal bahan. Berikut ini disajikan
beberapa contoh bahan baku
pakan untuk udang dan kandungan nutrisinya.
TABEL 7. BEBERAPA CONTOH BAHAN BAKU PAKAN UNTUK UDANG DAN KANDUNGAN NUTRISINYA
Jenis
Bahan
|
Protein
(%)
|
Lemak
(%)
|
BETN
(%)
|
Serat
kasar
(%)
|
Air
(%)
|
Abu
(%) |
-
Tepung kelapa udang
-
Tepung daging ikan mujair
-
Ikan petek kering
-
Ikan teri kering
-
Ikan tongkol kering
-
Tepung kepiting
-
Tepung cumi
-
Tepung tahu basah
-
Tepung ikan kembung
-
Rebon basah
-
Tepung kedelai
-
Tepung menir
-
Tepung jagung
-
Tepung ikan import
-
Bekatul
-
Kanji
-
Tepung sagu
-
Tepung ketan
|
43,95
55,6
60,0
63,76
55,72
53,62
62,21
2,46
40,63
13,17
43,99
8,64
7,63
59,85
10,86
0,41
7,25
8,21
|
5,11
11,2
15,12
3,70
4,11
3,66
-
2,62
5,25
1,52
2,41
1,92
4,43
4,28
11,19
0,54
0,55
2,13
|
0,26
7,36
2,08
4,10
6,62
5,67
-
3,86
1,26
1,67
32,35
82,52
72,71
1,39
34,73
73,24
66,21
83,12
|
17,45
tt
tt
tt
tt
7,48
-
1,50
tt
tt
3,31
2,51
1,52
tt
10,73
13,16
11,24
2,26
|
6,53
6,34
9,60
10,28
4,95
6,75
-
88,36
20,90
80,0
11,22
2,65
11,01
9,61
12,47
12,60
8,49
1,32
|
26,7
19,5
13,2
18,28
28,6
11,83
-
1,20
31,96
3,64
6,73
2,76
2,70
24,87
-
1,55
1,53
2,96
|
Sumber:
Laboratorium Kimia BBAP Jepara (1986)
Adapun formulasi untuk pakan udang
yang dapat dipergunakan dalam pembuatan pakan udang skala kecil adalah sebagai
berikut :
Formula A : Kandungan
nutrisi :
-
Dedak 22
% Protein 35,65
%
-
Tapioka 21
% Lemak 7,67
%
-
Tepung
ikan 31 % BETN 41,48
%
-
Tepung
kedelai 25 % Serat
kasar
-
Vitamin
C 50 mg Air 9,36 %
-
Vitamin
B1 15 mg Abu 5, 84 %
-
Vitamin
B6 10 mg
-
Aquamix 425 mg
Formula B : Kandungan
Nutrisi :
-
Tepung
ikan 26 % Protein 33,42 %
-
Tepung
kelapa udang 10 % Lemak 6,35 %
-
Tepung
kedelai 15 % BETN 32,95 %
-
Tepung
jagung 15 % Serat kasar 8,64 %
-
Kanji 15 % Abu 12,43 %
-
Bekatui 13 % Air 6,21 %
-
Top
mix 2 %
-
Minyak
ikan 2 %
-
De
calphosphat 2 %
Formula C : Kandungan
nutrisi :
-
Tepung
ikan 40 % Protein 36,27 %
-
Tepung
rebon 8 % Lemak 5,21 %
-
Tepung
kedelai 10 % BETN 39,43 %
-
Tepung
jagung 20 % Serat kasar 0,43 %
-
Tepung
sagu 16 % Abu 14,42 %
-
Top
mix 2 % Air 4,24 %
-
Minyak
ikan 2 %
-
De
calphosphat 2 %
Formula D : Kandungan
nutrisi :
-
Tepung
ikan 31 % Protein 34,21 %
-
Tepung
cumi 5 % Lemak 5,43 %
-
Tepung
kedelai 15 % BETN 35,44 %
-
Tepung
jagung 15 % Serat kasar 6,42 %
-
Tepung
ketan 18 % Abu 13,07 %
-
Bekatui 10 % Air 5,43 %
-
Top
mix 2 %
-
Minyak
ikan 2 %
-
De
calphosphat 2 %
1. Pembuatan pakan udang skala kecil
Pada prinsipnya cara
pembuatan pakan untuk pembesaran udang di tambak dibagi menjadi beberapa tahap
yang meliputi: penggilingan dan penghancuran bahan-bahan, pengayakan,
penimbangan, pencampuran, pencetakan dan pengeringan.
a. Penggilingan
dan penghancuran
Penggilingan dan
penghancuran mempakan langkah awal pada proses pembuatan pakan untuk udang,
menjadi bahan dengan ukuran kecil. Untuk itu dapat digunakan berbagai macam
alat, mulai dari yang sederhana sampai yang modem, sesuai dengan biaya yang
tersedia. Beberapa alat yang dapat digunakan misalnya: alat penumbuk padi,
gilingan kopi, serta mesin giling yang digerakkan dengan tenaga listrik
(grinder) seperti pada gambar 12.
Gambar 12. Alat untuk
menggiling bahan baku
dengan partikel besar (grinder)
Gambar 13. Alat untuk
menghaluskan bahan sampai ukuran 100 mikron (Mikro pulverizer)
Gambar
14. Mesin pengayak bahan baku
bahan
b. Pengayakan
Proses pembuatan pakan berikutnya
yaitu pengayakan. Ukuran ayakan yang diperlukan disesuaikan dengan kebutuhan
untuk stadia udang. Semakin kecil stadia udang, semakin halus partikel bahan baku yang akan dibuat
pakan. Untuk itu dapat diatur dengan mengatur ukuran mata ayakan yang
diperlukan.
c. Penimbangan
Penimbangan diperlukan setelah
diketahui jumlah bahan baku vans diperlukan. Untuk bahan
baku dalam
jumlah besar digunakan timbangan kodok, sedangkan untuk bahan baku dalam jumlah kecil, misalnya untuk vitamin
dan mineral, digunakan timbangan halus agar lebih teliti.
d. Pencampuran
Agar didapat bahan baku yang homogen dalam
pakan, maka tahap pencampuran harus dilakukan sebaik mungkin. Secara sederhana
pencampuran dapat dilakukan dengan tangan, sedangkan dalam jumlah besar dapat
digunakan alat pencampur (mixer) yang menggunakan energi listrik seperti pada
gambar 15.
e. Pencetakan
Setelah bahan baku pakan dicampur, maka
tahap pencetakan mulai dilakukan
sesuai dengan kebutuhan bentuk dan ukuran pakan untuk stadium udang. Pencetakan pakan bentuk pellet dapat
menggunakan alat sederhana, misalnya gilingan daging. Dalam pembuatan pellet
dengan gilingan daging, bahan baku
harus dicampur dengan air
secukupnya, sehingga terbentuk adonan. Selanjutnya dikukus beberapa saat agar bahan perekat dapat mengikat bahan baku
Gambar
15. Alat pengaduk makanan (mixer) kapasitas 10 kg
yang lain atau dapatjuga dengan mencampurkan
bahan yang kering dengan perekat (binder) yang telah dijadikan bubur.
Pembuatan pellet yang lain
dapat menggunakan mesin pellet (CPM
Pellet mill). Bahan baku
yang digunakan semuanya harus dalam bentuk kering. Bentuk ini dapat dijadikan
bentuk crumble dengan menggunakan alat mesin crumble. Untuk membuat pakan dalam
bentuk powder, dapat digunakan lagi mesin penghalus (micropulvirizer). Sedangkan untuk membuat pakan berbentuk flake
dapat digunakan Electrosteam double drum
dryer.
f. Pengeringan
pakan
Pengeringan pakan diperlukan
untuk pakan yang masih mempunyai kadar air relatiftinggi. Pengeringan ini dapat
dengan sinar matahari langsung atau dengan menggunakan oven.
2. Pembuatan Pakan Udang di Pabrik
Pada proses pembuatan pakan
untuk pembesaran di tambak, dikenal beberapajenis bentuk komersial, yaitu DI
sampai D6 yang dipergunakan untuk pasca larva hingga udang dewasa.
Gambar
16. Meisn crumble
Gambar
17. Mesin pellet (CPM Pellet Mill)
kapasitas 50 kg/jam
Adapun jenis pakan yang diberikan tersebut
adalah sebagai berikut :
v
D1
diberikan mulai penebaran awal sampai 7 hari pemeliharaan
v
D2
diberikan mulai hari ke-7 sampai hari ke-14
v
D3
diberikan mulai hari ke-14 sampai hari ke-28
v
D4
diberikan mulai hari ke-28 sampai hari ke-58
v
D5
diberikan mulai hari ke-58 sampai hari ke-88
v
D6
diberikan mulai hari ke-88 sampai panen.
Pada prinsipnya proses
pembuatan pakan tersebut harus menggunakan alat spesifik yang biasa digunakan
di pabrik-pabrik yang memproduksi secara komersial. Flow chart teknik pembuatannya
adalah sebagai berikut :
Gambar
18. Flow Chart Teknik Pembuatan pakan di
pabrik
Gambar
19. Bentuk pakan buatan pabrik
Prinsip kerja pembuatan pakan di pabrik :
Dari tempat penampungan bak (1)
dan (2), bahan baku yang masih kasar melalui screw conveyor dan bucket elevator
masuk ke dalam mixer (3), kemudian masuk ke mesin penghancur (4). Dengan perantaraan
fan (7), maka bahan baku
siap digiling, kemudian dihisap dan masuk pada mesin separator (5). Dari tempat
ini, serbuk yang sudah digiling akan terpisah menjadi bagian yang lebih halus
dan agak kasar. Pada bagian filter (6) sudah siap menampung bagian yang sudah
halus dan kasar kembali ke mixer (3). Dari bagian filter, serbuk yang sudah
tertahan, dengan alat filter akan terhisap oleh fan (7) dan dikompresikan
sehingga dapat masuk ke Mix Bin (8). Dalam proses operasionalnya, sekitar 50%
dari jumlah bahan baku
yang masih kasar akan melalui proses penghancuran hingga menjadi tepung dan masuk
ke dalam Mix Bin (8) dengan perantaraan screw conveyor dan bucket elevator.
Setelah proses penghancuran selesai, dari fempat penampungan (1) dan (2) akan
masuk ke Mix Bin (8), kemudian di turunkan ke mixer (9). Mesin mixer (9) ini
mengaduk tepung dan
Gambar
20. proses pembuatan pakan di pabrik
Serbuk yang sudah digiling halus. Setelah
campuran adukan merata, kemudian diberi air dan minyak sesuai dengan kadar yang
dikehendaki setelah diketahui presentase kadar airnya, dengan perantaraan crew
conveyor dan bucket elevator serbuk tersebut dimasukkan kedalam pellet Bin
(10). Serbuk pellet yang terdapat pada penampungan akan ditarik dan masuk ke
dalam tabung silinder pemanas (11). Setelah diketahui derajat suhu yang
dikehendaki, maka serbuk, tersebut dimasukkan ke dalam mesin pellet 12. Pada
alat tersebut akan terbentuk butiran-butiran pellet yang ukurannya disesuaikan
dengan jenis yang dikehendaki (Dl sampai D6). Butiran pellet dimasukkan ke dalam
mesin pemanas (post conditioner). Melalui proses tersebut butiran pellet akan
turun ke tempat penampungan dan didinginkan dengan perantaraan fan (14),
kemudian masuk ke tempat ayakan pemisah (15) dan akan turun ke tempat
penampungan akhir (A) dan (B) yang sudah siap untuk dipacking. Tempat
penampungan tersebut merupakan tempat produk jenis pakan D4, D5 dan D6.
Sedangkan untuk jenis D 1, D2 dan D3 yang mempunyai butiran lebih halus akan
diayak kembali melalui (15) dan diturunkan ke storage Bin (16), setelah itu diturunkan
lagi ke mesin pemecah butiran (crumble) (17), lalu masuk ke tempat ayakan
(granding sieve) (18) yang akhirnya masuk ke tempat bagian penampungan
masing-masing yaitu (C), (D) dan (E).
BAB
VI
ANALISIS
PAKAN
Ada beberapa aspek yang dapat digunakan untuk
analisis pakan udang, yaitu : secara Kimia, Fisika dan Biologi.
A. ANALISIS KIMIA
1. Analisis Karbohidrat
Analisis karbohidrat dapat
dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, yaitu berdasarkan sifat-sifat
sakarida dan reaksi kimia yang spesifik.
a. Analisis
Kualitatif
Karbohidrat biladireaksikan
denganlarutan naftol dalam alkohol, kemudian ditambahkan H2SO4
pekat secara hati-hati, pada batas cairannya akan terbentuk furfural
berwama ungu. Reaksi ini dikenal dengan reaksi Molisch yang
merupakan reaksi umum dari karbohidrat.
Beberapa cara yang lain
untuk analisis karbohidrat adalah dengan berbagai macam pengujian, seperti :
-
Uji Antron
0,2 ml larutan contoh di
dalam tabung reaksi ditambahkan larutan antron (0,2 % dalam H2SO4
pekat). Timbulnya wama hijau atau hijau kebiru-biruan menandakan
adanya karbohidrat dalam larutan contoh. Uji ini sangat sensitif
sehingga dapat memberikan hasil positifjika dilakukan pada kertas saring yang
mengandung selulosa. Uji ini dikembangkan untuk uji
kuantitatif secara colorimetric bagi glkogen, inulin dan gula dalam darah.
-
Uji Bartoed
Pereaksinya terdiri dari
Cupri asetat dan asam asetat. Ke dalam 5 ml pereaksi dalam tabung reaksi
ditambahkan 1 ml contoh kemudian tabung reaksi ditempatkan dalam air mendidih
selama 1 menit Endapan berwarna merah oranye menunjukkan adanya monosakharida dalam
contoh.
-
Benedict
Pereaksinya terdiri atas
Cuprisulfat, natrium sitrat dan natrium karbonat. Ke dalam 5 ml pereaksi dalam
tabung reaksi ditambahkan 8 tetes larutan contoh, kemudian tabung reaksi
ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Timbulnya endapan wama hijau
kuning atau merah oranye menunjukkan adanya gula pereduksi dalam contoh.
-
Uji Orsinol Bial – HCl
Ke dalam 5 ml pereaksi ditambahkan
2 - 3 ml larutan contoh kemudian dipanaskan sampai timbul gelembung-gelembung
gas ke permukaan larutan. Timbulnya endapan dan larutan berwarna hijau menandakan
adanya pentosa dalam contoh.
-
Uji Hayati
Pereaksinya terdiri dari
garam Rochelle atau kalium natrium tartrat,
gliserol dan cuprisulfat. Uji dan tanda-tanda dilakukan sama seperti uji benedict.
-
Uji lodium
Larutan contoh diasamkan
dengan HCl. Sementara itu dibuat larutan
lodium dalam larutan KI. Larutan contoh sebanyak 1 tetes ditambahkan ke dalam larutan lodium. Timbulnya wama biru
menunjukkan adanya pati dalam contoh. sedangkan wama merah menunjukkan adanya
glikogen atau eritrodekstrin.
-
Uji Seliwanoff
Pereaksi dibuat sebelum uji
dimulai, dengan mencarnryrkan 3,5 ml
resorsinol 0,5 % dengan 12 ml HCl pekat, kemudian diericerkan. Menjadi 35 ml dengan air suling uji,
dilakukan dengan menambahkan 1 ml
larutan contoh ke dalam 5 ml pereaksi. Kemudian ditempatkan dalam air mendidih selama 10 menit. Wama merah cherry menunjukkan
adanya fruktosa dalam contoh.
-
Uji Tauber
Sebanyak dua tetes larutan
contoh, ditambahkan ke dalam 1 ml larutan
benzidina, didihkan dan dinginkan
cepat-cepat. Timbulnya warna ungu
menunjukkan adanya pentosa dalam contoh.
b. Analisis
Kuantitatif
Analisis ini menggunakan
polarimeter, yaitu dengan memasukkan larutan gula ke dalam tabung polariskop
yang tertentu panjangnya, kemudian dilihat sudut putarannya.
Hal ini dilakukan karena karbohidrat mempunyai sifat dapat memutarbidang cahaya
terpolarisasi ke kanan (+) dan ke kin (-) dan setiap gula mempunyaisudut
putaran khas yang berbeda-beda. Misalnya sukrosa + 66,6 % dan glukosa +
90 %. Sifat inilah yang digunakan untuk analisis kuantitatif.
2. Analisis Protein
a. Analisis
Kuantitatif
-
Cara Kjeldahl
Cara ini digunakan untuk
menganalisis kadar protein kasar dalam bahan pakan secara tidak langsung, yaitu
mengalikan hasil analisis dengan angka konversi 6,25 akan diperoleh nilai
protein dalam bahan pakan. Angka 6,25 berasal dari konversi serum albumin
yang
biasanya mengandung 16 % nitrogen. Prinsip cara analisis Kjeldahl adalah
sebagai berikut: mula-mula bahan didektrusi dengan asam sulfat pekat menggunakan
katalis selenium oksikhlorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi ditampung
dan dititrasi dengan bantuan indikator. Cara Kjeldahl umumnya
dapat dibedakan atas dua cara yaitu cara makro dan semi makro.
Cara makro Kjeldahl digunakan untuk contoh yang sukar
dihomogenisasi dan besar contoh 1 - 3 gr, sedangkan semi makro Kjeldahl
dirancang untuk contoh ukuran kecil yaitu kurang dari 300 mg dari bahan
yang homogen. Cara analisis tersebut akan berhasil baik dengan asumsi nitrogen
dalam bentuk ikatan N - N dan N - O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah yang besar.
-
Cara Dumas
Prinsip cara ini ialah bahan
pakan contoh dibakar dalam atmosfir CO2, dan dalam
lingkungan yang mengandung cupri oksida. Semua atom karbon dan hidrogen
akan diubah menjadi CO2 dan uap air, semua gas dialirkan ke dalam
larutan NaOH dan dilakukan pengeringan gas. Semua gas terabsorpsi kecuali
gas nitrogen, gas ini kemudian dianalisis dan diukur.
b. Analisis
Kualitatif
Analisis ini dapat dilakukan
secara biologis maupun kimia.
-
Cara biologis :
Dilakukan dengan menggunakan
hewan percobaan. Beberapa pengujian yang biasa dikerjakan
dengan menggunakan cara ini yaitu :
-
PER (Protein
Efficiency Ratio)
-
NPU (Net
Protein Utilization)
-
N Dp
Cal (Net Dietary Protein
Calories)
Nilai
Biologis :
Nilai biologis merupakan harga atau jumlah
fraksi nitrogen yang masuk ke dalam tubuh dan dimanfaatkan dalam proses
pertumbuhan.
Daya
Cerna :
Daya cerna adalah jumlah fraksi nitrogen dari
bahan pakan yang dapat diserap untuk pertumbuhan.
Keseimbangan
Nitrogen :
Adalah suatu analisis yang sering dilakukan
untuk mengetahui keseimbangan nitrogen yang masuk dan nitrogen yang keluar dari
tubuh.
Skor
Asam Amino (Amino Acid Score) :
Mutu protein dapat diukur dengan menentukan
jumlah asam amino pembatas dan membandingkannya dengan asam amino sejenis. Beberapa
cara yang bisa dilakukan yaitu :
-
Cara
kromatografi kolom
-
Cara
HPLC (High Performance Liquid
Chromatography)
-
Cara
Mikrobiologis
-
Cara
Spektrofotometrik
-
Cara
Kromatografi pertukaran ion
-
Cara
Kromatografi gas-cairan
-
Cara
Kromatografi lapisan tipis (TLC)
3. Analisis Lemak
Beberapa uji kimia telah
dilakukan untuk mengidentifikasikan lemak,
yaitu dengan mengadakan beberapa uji sekaligus dengan cara :
a. Bilangan
Reichert Meisel (BRM)
BRM adalah jumlah 0,1 N
basayang diperlukan setiap lima
gram
lemak untuk menetralkan asam-asam lemak yang mudah menguap pada
destilasi, yaitu Asam lemak C4 dan C6 (Butirat dan
kaproat).
b. Bilangan
Polenske
Bilangan ini menentukan
kadar asam lemak yang volatil tetapi tidak larut dalam air, yaitu asam
lemak C8 sampai dengan C14. Prosedurnya seperti pada
contoh di bawah ini :
c. Bilangan
Kirschner Baru (New Kirshner Value = NKV)
BKB (NKV) adalahjumlah ml
basa 0,1 N yang diperlukan setiap lima
gram lemak/minyak untuk menetralkan asam lemak volatil yang garam-garam
peraknya lamt dalam campuran etanol air.
d. Bilangan
Penyabunan (BP)
BP adalahjumlah mg KOH yang
dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram lemak. Untuk menetralkan 1
molekul gliserida diperlukan 3 molekul alkali.
e. Bilangan
Hehner
Bilangan Hehner digunakan
untuk menentukan jumlah asam lemak yang tidak larut dalam air.
Lemak dengan BM yang tinggi akan mempunyai bilangan Hehner yang
rendah.
f. Bilangan
lodin
Bilangan lodin ialah gram
iodin yang diserap oleh 100 gram lemak. I2 akan mengadisi
ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh bebas maupun yang dalam bentuk
ester. Bilangan lodin tergantung pada jumlah asam lemak tidak jenuh
dalam lemak. Lemak dilarutkan dalam Khioroform (C Cl4)
kemudian ditambah larutan iodin (0,1 - 0,5 gr). Sisa iodin yang tidak bereaksi
dititrasi dengan tiosulfat.
I2 + 2NaS203
————> 2Na I + Na S4
O6
4. Penentuan Kadar Air
Pada umumnya penentuan kadar
air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105 - 110°C selama
3 jam atau sampai didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan
sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Untuk bahan
yang
tidak tahan panas pemanasan dilakukan dalam oven vakum dengan suhu yang
lebih rendah. Kadang-kadang pengeringan dilakukan tanpa pemanasan, bahan
dimasukkan dalam eksikator dengan H4 SO2 pekat
sebagai pengering hingga mencapai berat yang konstan. Penentuan kadar air dari
bahan-bahan yang kadar aimya tinggi dan mengandung senyawa yang mudah menguap
(volatile) menggunakan cara destilasi dengan pelarut
tertentu misalnya toluen xylol dan
Heptara yang BD-nya lebih rendah daripada air. Contoh (sampel) dimasukkan dalam
tabung bola (flask) kemudian dipanaskan. Air dan pelarut menguap, diembunkan dan
jatuh pada tabung aufhauser yang berskala. Air yang mempunyai BD lebih besar
ada di bagian bawah, sehingga jumlah air yang diuapkan dapat terlihat pada
skala tabung aufhauser tersebut. Untuk bahan dengan kadar gula tinggi dapat diukur
dengan menggunakan refraktometer. Di samping cara fisik, ada juga cara kimia
untuk menentukan kadar air. Me Nail mengukur kadar air berdasarkan
volume gas asetilen yang dihasilkan dari reaksi kalsium karbida dengan
bahan yang akan diperiksa.
B. ANALISIS FISIKA
Water
stability Feed yaitu stabilitas
pakan dalam air yang merupakan faktor penting dalam menentukan efisiensi pakan.
Pakan yang tahan dalam air yang
hanya mengalami sedikit perubahan kualitas
dan kuantitas adalah pakan yang mempunyai persyaratan fisik yang cukup baik. Untuk mencapai keadaan ini
dianjurkan agar pakan udang secara
fisik masih tetap utuh kira-kira selama tigajam berada dalam air.
Cara untuk mengetahuinya
adalah sebagai berikut :
- Sebelum pakan direndam dalam air terlebih dahulu dilakukan analisis kimia.
- Perendaman dilakukan di dalam wadah dengan volume dan kedalaman minimal 0,5 m3 dan 0,6 m.
- Air digerakkan dengan aerator yang kuat, sehingga menimbulkan gelombang dan amplitude minimal 5. Cm.
- Pakan diletakkan di dasar wadah yang mempunyai dasar merata.
- Setelah direndam 3 - 6 jam, kembali dilakukan analisis kimia.
Pada dasarnya semakin halus
bahan baku yang
digunakan untuk menyusun pakan, bentuk fisiknya akan semakin baik pula, karena akan
tercampur lebih baik sehingga menghasilkan produk yang lebih kompak dan stabil
di dalam air, sehingga relatif lebih mudah dicerna.
C. ANALISIS BIOLOGI
Suatu nilai dalam aspek
biologi yang paling penting adalah Nilai onversi Pakan (Feed Conversion Ratio). Nilai ini sebenamya tidak merupakan suatu
angka mutlak, karena tidak hanya ditentukan oleh kualitas pakan, akan tetapi
dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti jenis dan ukuran udang, jumlah
padat tebar, kualitas air dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan dalam Bab
VII. Semakin kecil nilai konversi pakan, semakin baik kualitas pakan, karena
akan semakin ekonomis. Untuk mengetahui nilai konversi pakan udang perlu
dilakukan pengujian di lapangan pada berbagai tipe percobaan.
BAB
VII
CARA,
JADWAL DAN JUMLAH
PEMBERIAN
PAKAN
A. CARA PEMBERIAN PAKAN
Syarat yang mutlak untuk
terpenuhinya pemberian pakan yang baik adalah merata, dalam arti dapat
diusahakan agar satu individu udang memperoleh bagian pakan yang sama dengan
individu lainnya, sehingga diharapkan dengan pemberian pakan merata, pertumbuhannya
akan seragam. Dengan adanya seleksi alam, sejalan dengan lamanya waktu
pemeliharaan, udang yang lemah akan mengalami kematian dan udang yang memiliki
daya tahan standar akan mampu "Survive"
dan tumbuh dengan baik.
Cara pemberian pakan yang merata
dapat menghindari terjadinya kompetisi dalam mendapatkan makanan. Apabila
kompetisi dapat dihindari, maka sifat kanibalisme akan semakin dapat dikendalikan.
Keadaan kompetitif dan kanibalisme akan semakin tajam dan menyolok apabila
ukuran udang sangat bervariasi. Udang yang besar mempunyai kemampuan dan ukuran
mulut yang lebih besar daripada udang kecil, sehingga udang besar memperoleh
makanan lebih banyak dan tumbuh lebih pesat, sebaliknya udang kecil semakin terhambat
pertumbuhannya karena kurang mendapatkan pakan.
B. JADWAL PEMBERIAN PAKAN
Jadwal pemberian pakan pun
menentukan keberhasilan usaha budidaya
udang. Seperti pada organisme lainnya, udang juga mempunyai tingkah laku dan
kebiasaan makan tersendiri. Dari pengalaman diketahui bahwa udans merupakan
hewan vane aktif makan nada malam
hari, oleh karena itu persentase pemberian pakan pada malam hari lebih besar
daripada siang hari (pada saat intensitas matahari maksimum). Pemberian pakan pada saat intensitas matahari minimum
adalah sejumlah 60 % dari total pakan selama 24 jam. Dengan demikian efisiensi
pakan yang diberikan diharapkan akan lebih terjamin. Waktu pemberian pakan
udang muda dan dewasajuga berbeda. Udang
dewasa mempunyai metabolik rate dan kecepatan makan yang lebih daripada udang muda. Pakan yang diberikan hendaknya dalam jumlah yang cukup. Jumlah pakan
yang diperlukan bagi pertumbuhan optimal berbeda untuk setiap stadia
perkembangan udang. Oleh karena itu
diharapkan dengan bekal pakan yang cukup kualitas dan kuantitasnya, udang akan mampu bertahan hidup sampai saat panen. Pemberian pakan diatur dan
disesuaikan dengan target produksi yang akan dicapai. Sebaliknya, jika pakan
yang diberikan berlebihan, di
samping tidak efektif, juga sisa pakan tersebut akan merusak kondisi lingkungan.
C. JUMLAH PEMBERIAN PAKAN
Pengaturan jumlah pemberian
pakan selama pemeliharaan dihitung berdasarkan hasil sampling. Untuk mempermudah
penghitungannya, maka jumlah pakan yang diberikan mengikuti ketentuan sebagai berikut :
- Udang stadia zoea, yaitu dengan jumlah 1,5 ppm pakan buatan + plankton.
- Udang stadia mysis, yaitu dengan jumlah 1 ppm pakan buatan.
- Udang stadia pasca larva, yaitu dengan jumlah 1 ppm pakan buatan + nauplii Artemia.
- Udang ukuran PL 20 - 5 gram, yaitu dengan jumlah 25 % - 50 % dari berat total tubuh per hari.
- Udang ukuran 6 - 10 gram, yaitu dengan jumlah 15 % - 25 % dari berat total tubuh per hari.
- Udang ukuran 11 - 15 gram, yaitu dengan jumlah 8 % - 15 % dari berat total tubuh per hari.
- Udang dengan berat 20-30 gram, yaitu dengan jumlah 4 % - 8 % dari berat total tubuh per hari.
Selain ketepatan pada jumlah
pakan yang diberikan, frekuensi pemberiannya juga memegang peranan penting
dalam efektivitas penggunaan pakan. Semua ini tentunya harus disesuaikan dengan
sifat biologis udang yang dipelihara. Estimasi sampling jumlah dan berat udang
juga memegang peranan sangat penting, karena dapat menentukan kuantitas pakan yang
harus diberikan.
Dalam kaitan dengan
teknolegi budidaya udang semi intensif dan intensif di tambak, program
pemberian pakannya dapat dibuat seperti tabel 8.
Makanan merupakan bagian
terbesar dari biaya produksi dan diduga juga merupakan faktor penentu dalam
nilai ekonomi dari budidaya udang. Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh
para petani tambak adalah Feed Conversion
Ratio (FCR). FCR adalah nilai berapa kg makanan yang diberikan ke dalam
tambak dapat menghasilkan 1 kg dari udang yang dipelihara di tambak tersebut.
Nilai FCR selain dipengaruhi olehjenis udang yang dipelihara di tambak dan
kualitas makanan, juga dipengaruhi oleh program pemberian makanan dan managemen
lingkungan tambak. Petani tambak harus berhati-hati terhadap nilai FCR ini,
karena dengan memperbaiki nilai FCR selain biaya produksi dapat ditekan, FCR
juga berhubungan dengan kecepatan pertumbuhan dan kondisi dasar tambak. Nilai
FCR yang buruk identik dengan pertumbuhan udang yang buruk, udang yang mengalami
stres dan kondisi dasar tambak yang kotor (Thamassart, 1991).
PERTUMBUHAN
UDANG
(normal)
Beberapa faktor yang dapat mempengamhi
nilai FCR adalah sebagai berikut :
1. Kualitas Larva Udang
Sarhpai saat ini masih belum
ada teknologi yang benar-benar tepat
untuk melihat standarisasi kualitas larva yang berkualitas prima. Pengamatan secara fisik belum dapat memberikan jaminan kualitas larva yang baik. Larva udang
yang dihasilkan dari penetasan dengan perlakuan suhu yang tinggi serta
penggunaan obat obatan tampaknya
sehat, namun setelah benur ditebar di tambak ternyata kematian sering terjadi.
Larva yang selama pemeliharaannya terlalu banyak mendapatkan obat-obatan,
beberapa organnya dapat menjadi
rusak, sehingga penggunaan pakan menjadi tidak efisien. Dengan demikian agar
pakan dapat diserap dengan baik dan efisien,
larva yang kita tebar harus benar-benar mempunyai kualitas yang baik.
2. Kualitas Makanan
Kualitas makanan memegang
peranan yang penting dalam usaha memperbaiki
nilai FCR. Begitu banyak produsen pakan udang dengan merk yang beraneka ragam
yang tidak kita ketahui kualitasnya secara
tepat. Produsen pakan udang harus menggunakan laboratorium pengujian mutu hasil
pakannya untuk menguji semua bahan mentah yang digunakan, sehingga pakan yang
dihasilkan adalah pakan dengan kualitas
superior yang dapat membantu petani untuk mendapatkan nilai FCR yang baik.
Petani sebaiknya juga memutuskan dengan tepat jenis pakan yang akan digunakan,
yang telah diuji coba dengan hasil yang baik. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh para petani tambak
dalam pemilihan pakan udang dengan kualitas
yang baik adalah :
- Produk berasal dari perusahaan yang baik yang mempunyai dukungan penelitian dan pengembangan yang kuat.
- Pakan yang digunakan telah diuji coba sendiri oleh petani dengan hasil FCR yang baik, pertumbuhan yang baik dan hasil panen yang konstan.
- Mempunyai daya tarik dan bau yang menarik bagi udang.
- Mempunyai kestabilan yang baik dalam air.
- Pakan dalam kemasan yang baik.
Kualitas makanan mudah rusak
apabila tidak ditempatkan secara benar, serangga dan tikus pun dapat menjadi
penyebab hilangnya sebagian makanan. Di bawah ini beberapa petunjuk untuk
menyimpan makanan yang baik untuk menjaga kualitas makanan :
-
Makanan
harus disimpan pada tempat yang kering dan pada area yang cukup ventilasinya.
Apabila ruangan basah, makanan akan cepat busuk. Tempat penyimpanan sebaiknya
dingin, perlu ventilasi yang cukup untuk menjaga suhu dalam zat pakan.
-
Makanan
disusun ke atas dan dibatasi kayu pemisah dengan jumlah tidak lebih dari 5 zak,
agar terjadi sirkulasi udara yang cukup di antara zak-zak makanan sehingga
kelembaban dan suhu dalam keadaan normal.
-
Makanan
tidak boleh diletakkan langsung di lantai atau menempel dinding ruangan.
Permukaan tembok biasanya lebih dingin daripada sekitarnya. Oleh karena itu
bagian dari zak makanan yang bersinggungan langsung dengan lantai akan menjadi
lembab, sehingga mengundang jamur untuk tumbuh subur.
-
Makanan
tidak boleh disimpan pada tempat yang terkena langsung sinar matahari, karena
akan mengakibatkan perubahan suhu dalam makanan. Sinar matahari juga
mempengaruhi kualitas kandungan vitamin dan lemak dalam makanan.
-
Makanan
tidak boleh disimpan lebih dari 3 bulan sejak dari proses pembuatannya.
Kualitas vitamin dan lemak akan rusak dalam penyimpanan yang terlalu lama. Idealnya,
makanan dibeli, dikirim dan diberikan ke udang atau melalui pengaturan pembelian
setiap bulan.
-
Makanan
yang busuk atau sudah terlalu lama, tidak boleh digunakan kembali. Kerugian
dari akibat pemberian makanan yang busuk lebih besar daripada pembuangan
makanan tersebut. Pemberian label pada zak pakan mengenai kandungan nutrisinya akan
memudahkan petani tambak untuk membandingkan nilai nutrisi dengan makanan lain.
Pemberian label nutrisi pada pakan biasanya dengan kriteria kandungan protein
minimum, lemak minimum, serat kasar maksimum, abu maksimum, kalsium dan phospor.
Makanan Udang merupakan bahan makanan yang mudah rusak sehingga sangat penting
untuk mencantumkan tanggal pembuatan makanan.
3. Pengaturan Pemberian Makanan
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, pemberian pakan harus sesuai dengan biomass udang yang berada di
dalam tambak. Walaupun demikian, keadaan kesehatan udang, umur dan keadaan lingkungan
tambak juga mempunyai pengaruh langsung terhadap konsumsi pakan. Salah satu
metode yang telah biasa digunakan oleh petani udang untuk melihatjumlah makanan
yang dikonsumsi udang adalah dengan penggunaan ancho. Agar lebih jelas lagi
mengenai metode pengangkatan ancho ini dapat dilihat pada Tabel 10.
Dengan hanya mengamati
pertumbuhan udang, petani udang dapat mengatur pemberian pakan secara benar.
Petunjuk mengenai pengaturan pemberian pakan berdasarkan berat badan dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 10. Jumlah Makanan Pada Ancho dan Waktu Kontrol
Berat badan udang
(gram)
|
Jumlah makanan pada
Ancho (% pakan)
|
Waktu terkontrol
(jam)
|
2 – 3
3 – 5
5 – 10
10 – 15
15 – 20
20 – 25
25 – 30
30 - 40
|
2,4
2,4
2,7
3,0
3,3
3,6
3,9
4,1
|
2,5
2,5
2,5
2,0
2,0 – 1,5
1,5
1,0
1,0
|
Tahmmasart,
1991
TABEL
11. PERBANDINGAN PEMBERIAN MAKANAN
BERDASARKAN BERAT BADAN
Berat bahan hidup
(BBH)
|
(Gram)
makanan
(% BBH/hari)
|
2 – 3
3 – 5
5 – 10
10 – 15
15 – 20
20 – 25
25 – 30
30 – 35
35 – 40
|
8,0 – 7,0
7,0 – 5,5
5,5 – 4,5
4,5 – 3,8
3,8 – 3,2
3,2 – 2,9
2,9 – 2,5
2,5 – 2,3
2,3 – 2,1
|
Tahmmasart,
1991
Untuk mengetahui kenaikan pemberian
pakan per hari, dapat dihitung dengan menggunakan rumus A dan B di bawah ini :
Rumus A :
ADG = BW 1 – BW 2
1
BW 1 =
Rata-rata berat badan pada saat ini (gram)
BW 2 =
Rata-rata berat badan pada waktu yang lalu (gram)
t = Jarak waktu antara BW 1 dan BW 2 (hari)
Rumus B :
F1 = ADG x BM x FR
100
Fl = Kenaikan pemberian pakan pada hari itu
(hari)
ADG =
Rata-rata kenaikan berat badan/hari (gram/hari)
BM = Rata-rata berat badan (gram) x jumlah
yang hidup
FR = Feeding rate/perbandingan pemberian
makan pada berat badan saat itu (%).
4. Pengaturan Air dan Aerasi
Pengaturan air dan aerasi
yang baik merupakan salah satu factor untuk
memperbaiki nilai FCR. Kondisi tambak yang lingkungannya kurang baik, di mana pergantian air kurang baik, kondisi tambak
yang buruk, oksigen terlarut yang
rendah akan merupakan faktor penyebab stres
yang cukup berat bagi udang. Udang haurs menggunakan energinya untuk mengatasi
stres tersebut sehingga akibatnya pertumbuhan yang buruk dan FCR-nya juga
buruk. Selain pengaturan air dan aerasi
yang baik, untuk mendapatkan nilai FCR yang baik juga diperlukan pemilihan
lokasi dan perencanaan lahan yang baik.
5. Predator dan Kompetitor
Persiapan tambak yang kurang
baik dapat mengakibatkan nilai FCR yang tinggi, karena pada lahan tambak
yangjeiek akan banyak terdapat predator (hewan pemangsa) dan kompetitor (hewan
pesaing). Petani tambak harus benar-benar mempersiapkan tambaknya dengan proses
pengeringan yang sempurna, pemasangan saringan yang sesuai dengan baik sebelum
pengisian tambak, dan bila perlu menghilangkan predator dan kompetitor sebelum
penebaran dilakukan.
BAB
VIII
KUALITAS
AIR DAN HUBUNGANNYA
DENGAN
PAKAN
Untuk mendapatkan hasil yarig
maksimal dalam usaha budidaya udang, perlu diperhatikan kualitas air yang baik.
Persyaratan yang layak bagi beberapa parameter kualitas air bagi budidaya udang
adalah seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel
12. Parameter kualitas air
Parameter
|
Nilai
|
Kelayakan
|
Kualitas
fisika :
1. Suhu
2. Salinitas
Kualitas
kimia :
1. pH
2. Oksigen (O)
3. Alkalinitas
4. Amoniak (NH)3
5. Nitrit (NO)2
6. Hidrogen sulfide
7. Karbon dioksida
|
28 – 300C
15 – 25 permil
7 – 8,5
> 5 ppm ± 100 % jenuh
50 – 200 ppm CaCO3
0,1 ppm
0,6 ppm
0,1 ppm
1,5 ppm
|
Optimum
Optimum
Optimum
Optimum
Layak
Maksimum
Maksimum
Maksimum
Maksimum
|
A. SUHU
Beberapa pengamat menemukan
bahwa udang windu tidak dapat hidup pada suhu kurang dari 15°C atau lebih dari
40°C. Suhu optimal bagi udang windu adalah 28°C - 30°C. Selain pengaruh langsung
yang mematikan, suhu juga secara tidak langsung mempengaruhi metabolisme, daya
larut gas-gas, termasuk oksigen serta berbagai reaksi kimia dalam air. Semakin
tinggi suhu air, semakin tinggi pula laju metabolisme udang yang berarti
semakin besar konsumsi oksigennya, padahal kenaikan suhu tersebut bahkan
mengurangi daya larut oksigen dalam air. Setiap kenaikan suhu 10°C, akan mempercepat
laju reaksi kimia sebesar 2 kali. Sebagai contoh, reaksi keseimbangan amoniak :
NH OH4 ——-> NH2
+ H2 O, akan bergeser ke arah kanan yang menyebabkan persentase
amoniak (NH) semakin besar. Perlu diketahui bahwa Amoniak lebih bersifat racun
daripada Amonium (NH OH)4. Pada PH 8,0 dan suhu 25°C, persentase NH3
adalah 5,38 % sedangkan pada PH yang sama dengan suhu 30°C persentase NH3
menjadi 7,46 %.
B. SALINITAS
Berdasarkan toleransinya
terhadap salinitas, maka udang windu termasuk
ke dalam golongan euryhaline laut, yaitu hewan laut yang mampu hidup pada air tawar. Di beberapa tempat, udang windu
ditemukan masih mampu hidup pada salinitas 40 permil, namun terbukti mengalami pertumbuhan yang lambat.
Nilai salinitas yang optimal bagi
udang windu adalah 15 - 25 permil. Jika nilai salinitas terlalu tinggi, konversi rasio pakan akan
tinggi sehingga untuk mengantisipasinya, volume penggantian air harus diperbesar.
Pada salinitas tinggi, hewan
air termasuk udang windu dalam adaptasinya akan kehilangan air melalui difusi
keluar badannya. Dalam kaitan ini,
udang akan banyak minum air dan menghindari
kelebihan garam dengan mekanisme tertentu. Keseluruhan mekanisme itu
memerlukan energi ekstra, sehingga dapat menurunkan efisiensi pakan yang dikonsumsi. Dalam usahanya
menghindari kelebihan garam di dalam tubuhnya, akan terjadi pengerasan
eksoskeleton yang dapat
mengakibatkan gagal ganti kulit. Satu-satunya cara untuk mengatasi salinitas yang terlalu tinggi adalah pengenceran dengan
air tawar. Untuk mendapatkan nilai
salinitas tertentu dapat dipakai rumus :
S = S1 V1 + S2 V2
VI
+ V2
-
S adalah salinitas yang dikehendaki (permil)
-
51
adalah salinitas tinggi air laut/tambak (permil)
-
52
adalah salinitas rendah air tawar (permil)
-
VI
adalah volume air salinitas tinggi (m3)
-
V2
adalah volume air salinitas rendah (m3)
C. DERAJAT KEASAMAN
pH air menunjukkan aktivitas
ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion
hidrogen (dalam mol per liter) pada
suhu tertentu, atau dapat ditulis :
pH
= log (H)*
Air murni (H2O)
berasosiasi sempuma sehingga memiliki ion H+ dan ion OH- dalam
konsentrasi yang sama, dan dalam keadaan
demikian pH air mumi = 7. Semakin tinggi konsentrasi ion H+ akan semakin rendah konsentrasi ion OH- dan pH
< 7, perairan semacam ini
bersifat asam. Hal sebaliknya terjadi jika konsentrasi ion OH- yang tinggi dan pH > 7,
maka perairan bersifat basa (alkalis). Perairan umum, termasuk air laut dengan segala aktivitas fotosintesis dan
respirasi organisme yang hidup di dalamnya membentuk reaksi berantai karbonat-karbonat
sebagai berikut :
CO2
+ H2O ——> H2CO3 ——> H+ + HCO3
——> 2H- + CO32-
Semakin banyak CO2 yang dihasilkan
dari hasil respirasi, reaksi bergerak
ke kanan dan secara bertahap melepaskan ion H+ yang menyebabkan pH air turun. Reaksi
sebaliknya terjadi dengan aktivitas fotosintesis yang membutuhkan banyak ion CO2,
menyebabkan pH air naik.
Air laut, dengan-kandungan
ion-ion Ca dan Mg yang cukup besar,
dapat mencegah terjadinya fluktuasi pH yang besar. Ion-ion Calsium dan Magnesium akan membentuk garam-garam karbonat dan bikarbonat dan campuran asam-asam
karbonat tersebut dengan garam-garam
membentuk suatu sistem penyangga (buffer) yang kuat. Oleh karena itulah, biasanya pH air laut berada sedikit di
atas normal dan jarang keluar dari
batas pH 7 - 9. Keadaan ini sangat menguntungkan hewan-hewan di dalamnya
termasuk udang, yang karena aktivitas
respirasinya menghasilkan CO2 mengakibatkan pH di sekitar insang agak turun, sehingga perlu segera dinetralkan
kembali. Nilai pH yang optimum bagi kehidupan udang berada pada kisaran 7 - 8,5.
Walaupun demikian sering terjadi kapasitas buffer air laut tidak mampu menahan penurunan pH yang dipengaruhi oleh kedalaman tanah dasar tambak. Kasus
ini banyak terjadi terutama pada
tambak-tambak yang dibangun di areal lahan yang mengandung pyrite (FeS2). Pyrite
yang terlepas ke udara akan teroksidasi dengan menghasilkan ion hidrogen yang cukup banyak, sehingga mampu menurunkan pH air hingga di bawah
nilai 4. Peningkatan nilai pH sampai
pada tingkat yang membahayakan sangat jarang terjadi di tambak. Kalaupun hal itu terjadi, dapat diatasi dengan pemupukan yang bereaksi asam, seperti pupuk
belerang, pupuk sulfat yang dikombinasikan dengan pupuk organik. Jika terjadi
kecenderungan peningkatan pH, sebaiknya dilakukan penggantian sebagian volume
air tambak. Kasus penurunan pH lebih sering dijumpai terutama di tambak-tambak
yang baru. Ada
dua cara mengatasi rendahnya nilai pH yang
disebabkan keasaman tanah dasar ini, yaitu dengan pengapuran dan dengan tindakan reklamasi.
D. OKSIGEN TERLARUT
Dilihat dari jumlahnya,
oksigen terlarut adalah satu jenis gas terlarut dalam air pada urutan kedua
setelah Nitrogen. Namun jika dilihat kepentingannya bagi kehidupan ikan dan
udang, Oksigen menempati urutan paling atas. Oksigen yang sangat diperlukan
udang untuk pernafasannya harus
dalam bentuk terlarut dalam air, karena udang tidak dapat memanfaatkan Oksigen langsung dari udara.
Sumber utama Oksigen dalam
perairan adalah hasil difusi dari udara, terbawa melalui presipitasi (air
hujan) dan hasil fotosintesis fitoplankton.
Sebaliknya, kandungan Oksigen terlarut dalam air dapat berkurang karena dimanfaatkan oleh aktivitas respirasi dan perombakan bahan organik. Kekurangan
Oksigen dapat pula dialami akibat
terhalangnya difusi karena stratifikasi salinitas yang dapat terjadi setelah
hujan lebat.
Besarnya kandungan Oksigen
terlarut dalam air dapat dinyatakan dengan konsentrasi absolut (ppm) ataupun
dengan konsentrasi relatifnya
(persenjenuh). Konsentrasi jenuh adalah kandungan Oksigen terlamt dalam air
pada saat fase air dan udara dalam keadaan seimbang. Nilai optimal kandungan
Oksigen bagi kehidupan udang > 5
ppm sekitar 100 % jenuh.
Pada konsentrasi yang cukup
besar, terjadi perbedaan tekanan parsial
yang memungkinkan penetrasi oksigen ke pembuluh darah melalui lamela-lamela insang dan kemudian diikat dan dimanfaatkan oleh haemocyanin dalam pembuluh darah
udang. Pada konsentrasi yang terlalu
rendah, tekanan parsialnya tidak mampu untuk memungkinkan penetrasi oksigen,
sehingga udang dapat mati lemas karena kesulitan
bernafas. Gejalanya terlihat dengan berenangnya udang secara tidak beraturan di
permukaan air. Konsentrasi yang berlebihan pun dapat mengakibatkan kematian
dengan terjadinya emboli dalam pembuluh
darah akibat terlalu banyaknya gelembung udara (gas bubble disease).
Konsentrasi lewat jenuh
dapat terjadi pada tambak-tambak yang terlalu
subur dan fitoplankton tumbuh terlalu padat. Keadaan ini dapat terjadi setelah tengah hari, yaitu melalui aktivitas
fotosintesis fitoplankton banyak
menghasilkan Oksigen dengan reaksi sebagai
berikut :
Khlorophil
6 CO2 + 6H2 O
——————> C6H12O6 + 6O2
Ultra violet
(cahaya matahari)
Difusi Oksigen hanya terjadi
dengan cepat pada lapisan permukaan air, sedangkan pada lapisan di bawahnya,
justru di tempat hidup udang, difusi
berjalan sangat lambat. Untuk membantu distribusi Oksigen ke lapisan bawah,
diperlukan alat aerasi yang dapat berupa
blower, kincir air (paddle wheel), aire O-two ataupun lainnya. Fungsi alat-alat aerasi tersebut
selain dapat mempercepat difusi Oksigen dan distribusinya ke lapisan bawah,
dapat juga membantu melepaskan Oksigen ke atmosfir pada keadaan yang lewat
jenuh.
E. AMONIAK
Sumber utama amoniak dalam
air adalah hasil perombakan bahan
organik, sedangkan sumber bahan organik terbesar dalam budidaya udang intensif
adalah pakan. Sebagian besar pakan yang diberikan akan dimanfaatkan udang untuk
pertumbuhannya, namun sebagian lagi akan dieksresikan dalam bentuk kotoran
padat dan amoniak terlarut (NH2) dalam air. Kotoran padat pun
selanjutnya akan mengalami
perombakan menjadi NH2 dalam bentuk gas. Gas amoniak selanjutnya
bereaksi sebagai berikut:
Udang NH3 + H2O ————> NH4
OH ———> NH4+ + OH
Tidak terionisasi
(bersifat racun).
Metode analisis yang ada
tidak dapat membedakan kedua bentuk amoniak
tersebut, sehingga digabungkan menjadi amoniak total Besarnya fraksi NH3
dalam amoniak total bervariasi dengan pH suhu air, salinitas dan konsentrasi oksigen. Pengaruh pH sangat besar
di sini, misalnya pada suhu 25°C,
kenaikan pH dari 8,0 ke 9,0 meningkatkan jumlah fraksi NH, dari 5.38 % menjadi
36,3 %. Konsentrasi NH3
yang aman bagi udang adalah lebih kecil daripada 0,1 ppm.
Secara biologis, di alam
sebenarnya dapat terjadi perombakan amoniak
menjadi nitrat (NO3), suatu bentuk yang tidak berbahaya dalam proses nitrifikasi dengan bantuan bakteri nitrifikasi terutama nitrosomonas dan nitrobacter. Selain
memerlukan bakteri tersebut dalam
proses perombakan ini juga diperlukan jumlah oksigen yang cukup di dalam air. Proses perombakan yang tidak sempuma dapat mengakibatkan akumulasi ion nitrit (NO2)
yang juga bersifat racun Dalam darah
udang nitrit dapat mengoksidasi hemoglobin, sehingga hemoglobin menjadi tidak mampu berfungsi sebagai pembawa oksigen
kejaringan tubuh. Dalam darah yang mengandung hemocyanin mekanisme mi mungkin pula terjadi.
Metode yang paling aman
untuk menghindari pembentukan amoniak
yang terlalu banyak di tambak adalah dengan melakukan persiapan tambak dengan baik. Dalam masa persiapan ini dilakukan pembuangan hasil akumulasi kotoran di
dasar tambak dan pengeringan tanah dasar. Dalam masa pemeliharaan juga perlu
dilakukan pembuangan sisa-sisa kotoran secara rutin serta tidak memberikan makanan
secara berlebihan.
F. HIDROGEN SULFIDA (H2S)
Hidrogen Sulfida merupakan
gas beracun yang dapat larut dalam air, akumulasinya di tambak biasanya
ditandai dengan endapan lumpur hitam berbau khas seperti telur busuk. Sumber
utamanya adalah hasil dekomposisi sisa-sisa plankton, kotoran udang dan bahan
organik lainnya. Dalam kondisi anaerobik, beberapa bakteri heterotrof mampu memanfaatkan senyawa-senyawa organik
belerang maupun sulfat anorganik sebagai energinya, sehingga menghasilkan ion
belerang (S2-). Ion-ion belerang selanjutnya membentuk reaksi
disosiasi menghasilkan H2S yang bersifat racun.
S2-
+ 2H+ —————>H2S
Daya racun H2S
tergantung suhu, pH dan oksigen terlarut. Pada nilai pH lebih dari 9, hampir seluruh asam belerang berdisosiasi
menjadi ion-ion S2- dan H+ yang tidak beracun. Sebaliknya
turun menjadi kurang dari 5, reaksi
bergeser ke kanan dan sebagian besar asam belerang (H2S) tetap dalam
bentuk yang beracun.
Konsentrasi aman asam
belerang bagi udang adalah kurang dari 0,1
ppm. Meningkatnya kandungan asam belerang di tambak dapat dicegah dengan pembuangan sisa kotoran secara rutin, penggunaan aerasi yang cukup dan peningkatan pH
air.
G. KARBON DIOKSIDA (CO2)
Umumnya perairan alami
mengandung Karbon dioksida sebesar 2
mg/liter. Pada konsentrasi yang tinggi (>10 mg/liter), C2O dapat beracun, karena dalam darah dapat
menghambat pengikatan oksigen oleh
hemoglobin. Larutan CO2 menunjukkan reaksi keseimbangan seperti ini :
(1)
CO2 + H2O H2CO3
H2CO3 HCO3-
- H+ (K = 107)
HCO3-
CO32-
+ H+ (K = 10-11)
(2)
CO + OH- HCO3-
Pada pH < 8 reaksi
terjadi seperti pada reaksi (2) terjadi terutama apabila nilai pH > 10. CO2/CO3-/HCO3-
reaksi ini sangat menentukan daya penyangga dari media air tertentu yang
bergabung dengan kation Cu+2, Mg+2, K+ dan Na+.
Daya penyangga sangat mudah di tentukan dengan titrasi yang menggunakan 0,1 N HCl dan metal jingga sebagai indikator 1 ml. 0,1 N HCl sama dengan 1 unit daya mengikat asam.
(Ca
(HCO3)2 + 2 HCl ————> CaCI2 + 2H2
CO3).
Dalam hal ini terdapat
hubungan berikut : 1 unit daya mengikat asam,
sama dengan 28 mg/liter CaO atau 50 mg/liter Ca CO, atau
81 mg/liter Ca CO3 atau
2,8 derajat hardness. Pada umumnya perairan
mempunyai daya mengikat asam antara 0,1 sampai 6,0 unit. Kisaran yang lebih tinggi lebih baik daripada
yang rendah, karena hal ini bersamaan dengan kandungan nutrien yang lebih
tinggi, termasuk CO2/HCO3-/CO32-
yang digunakan untuk fotosintesis yang akhimya dapat menyebabkan peningkatan produksi pemeliharaan.
Pakan adalah salah satu faktor
input produksi yang berperan untuk
mencapai peningkatan produktivitas organisme budidaya. Dari segi energetik, energi yang tersimpan dalam pakan akan
dimetabolisasikan dan digunakan udang untuk dua tujuan, yaitu pemeliharaan (maintenance)
dan pertumbuhan. Untuk itu pakan yang diberikan harus memenuhi persyaratan nilai gizi. Agar tercapai efisiensi
penggunaan pakan, perlu pula diperhatikan cara jadwal dan ransum pemberian
pakan yang diberikan seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
Pada pemeliharaan udang,
baik di hatchery maupun di tambak, kualitas
air yang layak merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan. Hal ini erat
hubungannya dengan pakan, karena dengan padatnya organisme pemeliharaan dan
banyaknya sisa hasil metabolik, maka
air media pemeliharaan cepat mengalami perubahan kualitas. Kotoran dan sisa
makanan akan mengalami pembusukan, mengakibatkan mudah berkembangnya jenis
mikroba yang dapat merugikan.
Penggantian air mutlak harus
dilakukan apabila terjadi akumulasi bahan organik yang dapat menyebabkan toksik
pada organisme yang dipelihara.
Pemantauan terhadap kualitas air perlu dilakukan secara kontinu.
Penggantian air ini
merupakan salah satu faktor yang tidak boleh diabaikan, mengingat dengan diterapkannya padat tebar yang tinggi dan pakan dalamjumlah yang besar akan
mengakibatkan air media pemeliharaan
cepat mengalami perubahan kualitas.
Udang windu (Penaeus monodon) adalah hewan air yang
segala kehidupan, kesehatan dan
pertumbuhannya sangat tergantung kepada kualitas
air media pemeliharaannya. Beberapa permasalahan yang sering ditemukan pada tambak yang dikelola secara intensif, di
antaranya adalah air cepat mengalami kekeruhan. Kekeruhan ini terutama disebabkan oleh adanya bahan-bahan
halus yang melayang dalam air yang
berupa bahan organik seperti : plankton, jasad renik, detritus, kotoran udang
dan sisa pakan. Kekeruhan yang disebabkan oleh partikel organik dapat membahayakan udang, karena bahan organik akan
terdekomposisi menjadi senyawa yang bersifat racun seperti amoniak (NH3), nitrit (NO2)
dan hidrogen sulfida (H2S). Selain itu dengan adanya proses
penguraian bahan organik oleh bakteri aerobik, akan menyebabkan turunnya
kandungan oksigen dalam air.
Sumber utama amoniak dalam
air adalah hasil perombakan bahan organik, sedangkan sumber bahan organik
terbesar dalam budidaya udang intensif adalah dari pakan. Sebagian besar pakan
yang diberikan akan dimanfaatkan
udang untuk pertumbuhan, namun sebagian lagi akan dieksresikan dalam bentuk
kotoran padat dan amoniak terlarut (NH3) dalam air. Kotoran padat
selanjutnya akan mengalami perombakan menjadi NH3 dalam bentuk gas.
Secara biologis di alam, sebenamya
dapat terjadi perombakan amoniak menjadi nitrat (NO3), suatu bentuk yang tidak berbahaya dalam proses nitrifikasi dengan bantuan bakteri nitrifikasi terutama Nitrosomonas dan Nitrobacter.
Selain memerlukan bantuan
bakteri tersebut, dalam proses perombakan ini juga diperlukanjumlah oksigen
yang cukup dalam air. Proses perombakan yang tidak sempurna dapat mengakibatkan
akumulasi ion nitrit (NO2-) yangjuga bersifat racun bagi
udang.
BAB
IX
PROSPER
KEBUTUHAN PAKAN BUATAN
DI
INDONESIA
Sejak dimulainya perkembangan
budidaya tambak udang di Indonesia,
hampir seluruh suplai pakan merupakan produk impor dari Taiwan. Market Share-nya. diperkirakan mencapai 90 %.
Akan tetapi produksi pakan dalam negeri pada akhir-akhir ini telah mulai bermunculan
untuk mengisi kebutuhan budidaya tambak tersebut. Dengan didukung potensi
sumber daya lahan yang cukup besar, pemerintah telah berupaya menciptakan iklim
yang baik bagi para investor agar produksi udang dapat lebih ditingkatkan lagi.
Di Indonesia terdapat terdapat beberapa sistem usaha pertambakan, yaitu :
-
Tambak
tradisional, di mana benih ikan dan udang masuk ke tambak secara alami
mengikuti arus pasang dari laut.
-
Tambak
tradisional yang telah dimodifikasi, di mana selain stok benih udang dan ikan
yang masuk secara alami, dilakukan juga penebaran benih.
-
Tambak
dengan teknologi madya (semi intensif), yaitu dengan melakukan sistem
monokultur udang dengan padat penebaran 10.000 - 40.000 ekor benih udang per
hektar. Selain itu pemberian pakan telah dihitung berdasarkan hasil sampling
agar didapatkan produksi yang lebih tinggi.
-
Tambak
dengan teknologi maju (intensif), yaitu dengan penanaman benur mencapai 100.000
- 600.000 ekor per hektarnya. Sistem ini harus diikuti dengan pengelolaan air,
tanah dan komponen lainnya seperti penggunaan pompa, sistem aerasi dan pemberian
pakan yang intensif.
Dilihatdarikemungkinanpengembangannya,
secara keseluruhan terdapat potensi lahan seluas 840 ribu Ha di seluruh Indonesia yang berasal
dari kawasan hutan bakau yang tersebar terutama di luar pulau Jawa. Pada
prinsipnya peningkatan produksi dari sektor pertambakan dilakukan melalui dua kegiatan pokok, yaitu :
-
Program
intensifikasi, yaitu peningkatan usaha pada lahan tambak yang sudah ada dengan
perbaikan konstruksi, peningkatan pengelolaan dan penggunaan/penambahan sarana
produksi seperti pakan, benur dan sebagainya.
-
Program
ekstensifikasi, yaitu usaha perluasan areal baru bagi usaha pertambakan.
Dalam usaha memperkirakan kebutuhan
pakan udang secara keseluruhan di Indonesia menurut Harjolukito (1989) dapat
diproyeksikan melalui perkembangan luas tambak, produksi dan kebutuhan pakan
(tahun 1987-1995) seperti tertera pada tabel. Kekurangan suplai pakan udang
bagi usaha pertambakan, yaitu sebesar 45.000 ton. Kekurangan suplai pakan udang
ini meningkat menjadi 102.000 ton pada tahun 1996, sesuai dengan peningkatan
budidaya tambak udang di Indonesia.
Untuk memenuhi kekurangan
suplai pakan udang tersebut, maka dengan penambahan suplai yang berasal dari
pakan produksi lokal dan impor yang ditentukan pula oleh harga dan kualitasnya,
akan terjadi suatu persaingan. Walaupun pakan buatan dalam negeri mampu bersaing
dengan pakan impor dalam hal harga, namun belum tentu dapat menjamin
pemasarannya. Dari pengalaman terdahulu ternyata pakan impor telah mendominasi
pasaran dalam negeri, karena lebih dipercaya dari segi kualitasnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Antik Eriina dan Woro Hastuti. 1986. Kultur
Plankton. Direktorat Jenderal Perikanan dan International Development Research
Centre (INFIS Manual Serie No. 38).
Badrudin M, Sri Umiyati Sumeru, Heru
Wahyuono. 1989. Sumber Daya Demersal
yang Potensial bagi Pengembangan Bahan Baku Pakan Ikan Budidaya. Sub Balai
Penelitian Perikanan Laut, Semarang.
Catedral, F.C dan V.A. Dy-Penaflorida. 1977.
"Amino Acid Analysis of Penaeus monodon muscle." dalam SEAFDEC
Aquaculture Dept, Quarterly Research Report, 4Th
Quarter,Tigbauan,Ilo-Ilo,Philiphina. 1 (4) : 1 – 4 8.
Deshimaru, 0, K. Kuroki dan Y. Yone. 1979.
The Composition and Level of Dietary Lipid Appriate for Growth of Prawn Bull.
Jap. Soc. Sci. Fish. 45 : 591 - 594.
Deshimaru, 0 dan Y. Yone. 1978. Optimum Level
of Dietary Protein for Prawn. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish. 44:1395 - 1397.
Kitabayashi, K.H. Kurata, K. Shudo, K.
Nakamura dan S. Ishikawa. 1979. Studies of Formula Feed for Kuruma Prawn I on
The Relationship Among.Glusamine, Phosphorus and Calcium. Bulletin on Tokai
Regional Fisheries Researcy Laboratory. 65 : 91 – 107 :1.
Kontara, E.K, Sri Umiyati Sumeru, Bambang,
S.R dan Kisto Mintarjo. 1987. Teknik Budidaya Artemia (Culture of Live Feed
Organismwith Special Reference to Artemia Culture). Direktorat Jenderal
Perikanan dan International Development Research Centre (INFIS Manual Series
No. 53).
Kontara, E.K dan Sri Umiyati Sumeru. 1987.
Makanan Buatan untuk Larva Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan dan
International Development Research Centre (INFIS Manual Series No. 51).
Liao I. Chiu, Huei Meei Su dan Jaw Hwa Lim.
1983. Larval Foods For Penaeid Prawns, CRC Hand Book of Mariculture Volume I
Crustacean Aquaculture, CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida, him. 55 - 57.
Nurdjana, M.L, DR.Ir, Sri Umiyati Sumeru,
Ir., Zainal Arifin,. Ir. \9S9.EfisiensiPenggunaan Pakan padaBudidaya Udang
Intensif. Makalah Pada Lokakarya Efisiensi Penggunaan Pakan Udang, Jakarta.
Pascual, F.P, Dr. 1988. Formulated Feeds For
Penaeus monodon. Report of The Workshop on Shrimp and Fish Feed Development, Johore Bahru, Malaysia.
Sorgeloos, P, Etienne Bossuyt, Patrick
Lavens, Philippe Leger, Paul Vanhaecke dan Danny Versichele. 1983. The Use of
Brine Shrimp Artemia in Crustacean Hatcheries and Nurseries. CRC Hand B ook of
Mariculture Volume I Crustacean Aquaculture CRC Press. Inc. Boca Raton,
Florida, him. 71.
Sumeru, S.U, AriefTaslihan dan Made 1.
Nurdjana. 1988. Aplikasi Pemberian Pakan Udang Dalam Hubungannya dengan
Management Kualitas Air yang Optimal. Makalah Pada Seminar Pakan Udang UNDIP, Semarang.
Sumeru, S.U. 1988. Status of Shrimp Feed
Development at BADC, Jepara,
Indonesia.
Report of The Workshop on Shrimp,and Fin feb-Eeed Development, Johore Bahru, Malaysia
Sumeru, :SJU. Dany lurrarjim Nur. 1987.
Preliminary Test on The Effect of Feedmif Rate of Artemia Flake Diet on The
Growth and-Swvfytit of Penaeus monodon Post Larvae. Bulletin of The
Brackishwater Aquaculture Development Centre, Directorate General of Fisheries
Ministry of Agriculture, Indonesia. (Issued June, 1987) Vol.
8 No. 2.
Sumeru, S.U, M. Fairus Maisoni dan Endhay K.
Kontara. 1986. The Result of Preliminary Test on Anemia Cyst Production
Performed By Brackiswater Aquaculture Development Centre, Jepara, Indonesia.
Bulletinof BADC, Directorate General of Fisheries Ministry of Agriculture, Indonesia.
(Issued June 1987) Vol. 8 No. 2.
Sutanto Hardjolukito. Dr. IR. 1989. Potensi
Pengembangan Usaha Pabrik Pakan Udang dan Peranan Pola TIR dalam Distribusinya.
Lokakarya Efisiensi Penggunaan Pakan Udang. Jakarta 4 April.
Sutrisno,C.I.dan S. Budi Prayitno. 19SS.PemilihanBahan
Pakan Udang Berkualitas Tinggi. Laporan Seminar Pakan Udang, Fakultas Petemakan
UNDIP, Semarang.
Thammasart, S, Dr. 1991. Bagaimana Mencapai
FCR 1,2 dalam Budidaya Udang Intensif. Asian Shrimp News No.6, ASCC, Surabaya.
Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT
Gramedia, Jakarta.
Zonneveld, N., E.A. Huisman, J. H. Boon.
1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
1991. Bagaimana Mengestimasi Survival Rate
Grow Out Shrimp dan Produksinya. Asian Shrimp News No. 4, ASCC, Surabaya.
1991. Kebutuhan Makanan Udang dan
Penyimpanannya, Asian Shrimp News No. 4, ASCC, Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar