Assalamulaikum

Ikan Koi BDP (jangan lupa kasih pakan klik kolamnya, ikan laper belum makan 2 hari)

Jumat, 11 April 2014

Pakan Udang Windu



PAKAN
UDANG WINDU
(Penaeus Monodon)
 

I 

PENDAHULUAN


Udang merupakan salah satu komoditas primadona di Sub Sektor perikanan yang diharapkan dapat meningkatkan devisa negara. Permintaan pasar di luar negeri yang cenderung meningkat serta sumber daya yang cukup tersedia di Indonesia memberikan peluang sangat besar untuk dapat dikembangkan budidayanya.
Awal dekade 1980-an merupakan momentum yang sangat penting bagi dimulainya usaha budidaya udang di Indonesia. Kebijaksanaan pemerintah, seperti larangan penggunaan jaring trawl dan berbagai kebijaksanaan yang mendukung peningkatan komoditas ekspor non-migas pada tahun 1980 merupakan faktor yang merangsang pengusaha perikanan untuk lebih berorientasi pada peningkatan produksi udang melalui usaha budidaya.
Produksi udang di Indonesia dihasilkan dari dua sumber, yaitu dari hasil penangkapan dan budidaya. Dalam kurun waktu 1975 - 1980 produksi udang di Indonesia mengalami kenaikan cukup tinggi, sebagian besar hasil dari penangkapan di laut. Akan tetapi, setelah dikeluarkan Keppres No. 39 tahun 1980 yang melarang penggunaan jaring trawl, terjadi penurunan hasil perikanan yang sebagian besar berasal dari komoditas udang.
Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia, seperti kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi tambak, dan hal itu mendorong sektor swasta untuk menanamkan modalnya dalam usaha pertambakan udang, maka hasilnya dapat terlihat dengan adanya peningkatan produksi udang, juga ekspornya yang cukup pesat pada PELITA IV.
Pada tahun 1985, Indonesia mampu mengekspor udang sebanyak 30.800 ton senilai US $ 202,3 juta. Sedangkan pada tahun 1986, ekspor udang Indonesia mengalami penurunan menjadi 30.600 ton tetapi nilainya meningkat menjadi US $ 284,7 juta. Nilai ekspor udang ini mempakan sekitar 15,45 % dari total nilai ekspor komoditas nonmigas dari sektor pertanian.
Pada tahun 1987 ekspor udang Indonesia kembali meningkat menjadi 49.267 ton dengan nilai US $ 435 juta. Sedangkan pada tahun 1988 meningkat sebesar 27,7 % atau menjadi 56.552 ton udang dengan kenaikan nilai sebesar 41,83 % atau menjadi US $ 499.859 juta (Sumber: Ditjen Perikanan). Dengan semakin berkembangnya pengetahuan petani tambak, terutama dengan adanya penerapan teknologi maju dalam usaha budidaya udang, maka produksi usaha budi daya ini tahap demi tahap terus menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tahun 1987, produksi udang windu, terutama yang berasal dari usaha budidaya mencapai 13.068 ton pada tahun 1985,15.424 ton pada tahun 1986 dan pada tahun 1987 meningkat menjadi 25.202 ton.
Meningkatnya produksi dan ekspor udang tersebut tidak terlepas dari peranan usaha sarana penunjangnya yang semakin berkembang seperti : pembenihan udang, peralatan tambak dan pabrik pakan.
Dengan adanya penambahan input pada faktor-faktor produksi, salah satu di antaranya adalah pakan, maka laju pertumbuhan diharapkan dapat dipacu semaksimal mungkin untuk meningkatkan produksi dalam sistem budidaya. Untuk meningkatkan produksi, diperlukan pakan yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan udang. Untuk mengubah zat pakan menjadi zat tubuh diperlukan aktivitas kimiawi dan fisiologis. Zat pakan yang berada dalam tubuh udang akan diubah menjadi daging, sehingga tercapai produksi optimal bila udang diberi pakan yang sempurna.


























BAB II
            PERSYARATAN BIOLOGIS
DAN KEBIASAAN MAKAN UDANG WINDU


A.  PERSYARATAN BIOLOGIS

Udang windu (Penaeus monodon) termasuk dalam familia Penaidae. Sub Ordo Natantia, Ordo Decapoda dan Klas Crustacea. Kelompok ini hidup di dasar perairan/bentik, tidak menyukai cahaya terang dan bersembunyi di lumpur pada siang hari. Bersifat kanibal, terutama dalam keadaan lapar dan tidak ada makanan tersedia, mempunyai ekskresi amoniak yang cukup tinggi dan untuk pertumbuhan diperlukan ganti kulit (moulting).

Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang adalah sebagai berikut :

1.  Suhu
Udang membutuhkan kisaran suhu antara 25 hingga 32°C agar dapat hidup dan tumbuh secara normal. Semakin tinggi suhu perairan, semakin tinggi laju metabolisme di dalam tubuh udang. Kondisi ini akan diimbangi dengan meningkatnya laju konsumsi pakan. Bila suhu terus meningkat, udang akan stres dan akan mengeluarkan lendir yang berlebihan. Sebaliknya bila suhu terlalu rendah, udang akan kurang aktif makan dan bergerak, sehingga pertumbuhannya akan lambat.
2.  Salinitas
Udang windu mempunyai toleransi hidup pada kisaran salinitas 4 - 40 permil dan tumbuh dengan baik pada kisaran 12 - 30 permil. Jika salinitas terlalu rendah atau terlalu tinggi, nafsu makan masih ada, tetapi konversi pakan menjadi tinggi karena energi tubuh banyak terbuang.
3.  pH
Untuk pertumbuhan, udang windu memerlukan kisaran pH 7,4 - 8,5 dan akan mematikan bila pH mencapai angka terendah 6 dan tertinggi 9. Bila pH air terlalu rendah atau sering rendah pada malam hari, maka lapisan kapur di kulit udang akan berkurang karena terserap secara internal. Pada kondisi ini konsumsi oksigen meningkat, permeabilitas tubuh menurun dan insangnya rusak.
4.  Kelarutan Oksigen (DO)
Oksigen diperlukan udang untuk membakar zat-zat makanan yang dikonsumsi udang dan diserap tubuh atau diuraikan menjadi energi. Kelarutan oksigen yang baik bagi pertumbuhan udang adalah antara 85 % - 125 % jenuh atau 4 - 6 ppm. Dalam air yang mengandung cukup oksigen, aktivitas udang yang terlihat adalah beristirahat dan sesekali bergerak mencari makan. Sebaliknya dalam air yang kandungan oksigennya rendah, udang akan tampak aktif bergerak dan berenang karena stres. Akan tetapi, pada kadar oksigen yang kelewat jenuh dapat menyebabkan penyakit gelembung gas (Gas Bubble Disease).

B.  KEBIASAAN MAKAN

Di alam, udang windu biasa memakan berbagai jenis Crustacea besar, Brachyura, benda-benda nabati, Polychaeta, Mollusca, ikan-ikan kecil dan Crustacea kecil dalam jumlah yang terbatas. Sedangkan udang yang dipelihara di tambak banyak memakan Copepoda. Walaupun udang penaid merupakan hewan pemakan segala (Omnivora), akan tetapi pada umumnya udang merupakan predator bagi invertebrata yang pergerakannya lambat.

Hasil pemeriksaan terhadap isi perut udang windu yang dipelihara di tambak menunjukkan bahwa makanannya terdiri dari plankton jenis Lyngbya sp, Spirulina, Skeletonema dan dari jenis zooplankton yaitu Brachionus sp (Ranoemihardjo, 1980). Walaupun demikian, keadaan lingkungan tempat hidup udang akan berpengaruh terhadap jenis makanan yang dimakan.

Dalam usaha pemeliharaan udang, makanan yang diberikan selain harus mempunyai kualitas yang baikjugajumlahnya harus cukup, sebab kekurangan makanan akan lebih mempercepat kematian hewan yang dibudidayakan. Sampai saat ini nauplius Artemia merupakan salah satu makanan udang yang paling efektif bagi udang stadium Pasca larva maupun Juvenil. Selain itu, nauplius Artemia dapat berperan sebagai penunjang pertumbuhan udang windu. Jika digunakan sebagai suplemen dengan makanan lainnya, ternyata Artemia mempunyai keunggulan dibandingkan dengan makanan udang lainnya. Keunggulan tersebut di antaranya adalah : Artemia diperjual-belikan dalam bentuk kista (Cyst), sehingga praktis dalam penggunaannya, nauplius Artemia mempunyai kisaran ukuran yang cocok bagi kebanyakan larva udang, dapat beradaptasi terhadap berbagai lingkungan dan dapat tumbuh pada kepadatan yang tinggi (Sorgeloos, 1980). Selain itu, Artemia juga mempunyai kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Pada beberapa perkembangan stadia udang windu, kebiasaan makannya terangkum seperti pada Tabel 1.


Tabel 1.  Kebiasaan Makan Udang Windu (Panaeus Monodon) Pada Beberapa Perkembangan Stadia


STADIA
JENIS MAKANAN
LOKASI
SUMBER
1.
2.
3.


4.
Zoea-Mysis
Mysis-Pasca larva
Pasca larva


Dewasa
Phytoplankton
Zooplankton dan udang-udang kecil
Kepiting kecil, udang-udangan, molusca, cacing-cacingan, sisa-sisa ikan pasir, Lumpur
Udang-udangan, cacing-cacingan, alga, Lumpur, molusca, sisa-sisa ikan, bahan yang tidak teridentifikasi
Filiphina
Filiphina
Filiphina


Sudan, laut merah, pesisir dan muara karapuglia, India, filiphina
Villaluz,1969
Villaluz,1969
Maret, 1980


El Hag, 1984
Thomas 1972


BAB III
PERSYARATAN NUTRISI
BAGI UDANG WINDU

Sumber nutrisi (zat gizi) umumnya diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu: protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Untuk menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya, udang membutuhkan nutrisi yang secara kualitatif maupun kuantitatif memenuhi persyaratan sesuai dengan kebutuhan udang tersebut. Zat-zat tersebut harus berada dalam makanan yang secara fisiologis berfungsi sebagai sumber zat pengatur kelangsungan hidup.

A.  PROTEIN DAN ASAM AMINO ESENSIAL

Protein merupakan senyawa organik kompleks, tersusun atas banyak asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein mengandung pula phospor dan sulfur. Protein sangat penting bagi tubuh, karena zat ini mempunyai fungsi sebagai bahan-bahan dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dan pengatur. Sebagai zat pembangun, protein berfungsi dalam membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang telah ada.

Mengingat pentingnya protein dalam makanan udang, maka penelitian mengenai kebutuhan protein beberapajenis udang telah dilakukan oleh banyak peneliti. Beberapa hasil penelitian menunjukkan angka kebutuhan protein yang berbeda bagi udang. Perbedaan ini dimungkinkan, karena adanya perbedaan dalam kebiasaan makan (food habit) dan juga sumber protein yang digunakan. Berdasarkan percobaan Deshimaru dan Yone (1978) didapatkan bahwa kadar protein optimum untuk pertumbuhan juvenil Penaeus japonicus dan efisiensi penggunaan makanan berkisar antara 32 - 57 %. Sedangkan peneliti lain seperti Colvin (1976) mendapatkan kadar protein 43 % untuk Penaeus indicus dan Andrews et al. (1972) mendapatkan kadar protein 28 – 32 % untuk Penaeus setiferus. Hasil percobaan Colvin dan Brand (1977) menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan udang Penaeus califomiensis, Penaeus stylirostris dan Penaeus vanamei ukuran pasca larva dibutuhkan 40 % protein dalam makanannya, sedangkan untuk juvenil dibutuhkan protein 30 %. Pada umumnya udang windu juvenil atau dewasa mendapatkan pertumbuhan optimum dengan pemberian makanan yang mengandung 30 – 60 % protein (New, 1976).

Di alam terdapat sekitar 23 macam asam amino yang telah diisolasi, namun hanya beberapa asam amino saja yang esensial bagi udang. Kanazawa dan Teshima (1981) dengan menggunakan isotop radioaktif mendapatkan 10 jenis asam amino esensial untuk Penaeus japonicus yaitu : Arginin, Methionin, Valine, Threonin, Isoleusin, Leusin, Lysin, Histidin, Phenylalanin dan Tryptophan. Sedangkan Shewbart etal. (1972) mendapatkan 11 asam amino esensial bagi Penaeus aztecus yaitu kesepuluhjenis di atas serta tambahan Tyrosin untuk beberapa hewan tingkat tinggi. Tyrosin ini tidak esensial bila terdapat Phenylalanin, akan tetapi tampaknya esensial bagi udang. Sampai saat ini kebutuhan asam amino secara kuantitatifbagi udang belum diketahui. Bagaimanapunjuga penyusunan pakan udang sebaiknya disesuaikan dengan penyebaran asam amino dalam tubuh udang. Pada tabel 2 terlihat komponen penyebaran asam amino udang windu.


                                            Tabel 2.  Komponen Penyebaran Asam Amino Udang Windu

Asam Amino Esensial
Kandungan (%)
Arginin
Methionin
Valin
Threonin
Isoleusin
Leusin
Lysine
Histidin
Phenylalanin
Tyrosin
14,62
3,43
4,48
5,51
3,63
6,95
14,86
2,66
2,44
3,99
                                                        Sumber : Catedral dan DY-Penaflorida

B.  LEMAK
Lemak dibutuhkan sebagai sumber energi. Keberadaan lemak mempunyai peranan penting pula untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup, terutama beberapa tipe asam lemak sangat berpengaruh pada kehidupan udang. Asam lemak juga berfungsi sebagai pelarut vitamin. Komposisi asam lemak yang ada pada udang sangat erat hubungannya dengan lemak yang terkandung dalam makanan yang diberikan. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal per gram sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal per gram. Khusus bagi organisme perairan, lemak berperan dalam mengecilkan beratjenis, sehingga organisme dapat melayang di air.
Beberapa peneliti melaporkan bahwa sumber dan kadar lemak makanan yang diberikan mempunyai pengaruh nyata terhadap kadar lemak tubuh. Menurut Sick dan Andrews (1973), udang yang diberi makanan tanpa lemak mempunyai kadar lemak tubuh 4,93 % dari berat kering. Sedangkan pada pakan yang masing-masing diberi lemak yang berasal dari 10 % lemak sapi, 10 % minyak jagung dan 10 % biji rami, menyebabkan kadar lemak tubuh udang masing-masing menjadi 7,27 %, 7,82 % dan 8,58 %. Hal ini berarti dibutuhkan asam lemak tertentu dalam makanan yang diberikan.
Asam lemak mempunyai peranan penting tidak hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai zat yang esensial untuk udang (Teshima dan Yone, 1978). Dari beberapa hasil penelitian telah dibuktikan bahwa udang mempunyai kebutuhan yang unik terhadap sterol dan fosfolipida yang berbeda dengan organisme perairan lainnya dan mamalia. Padahewan lain, sterol dapat disintesis dari asetat, sedangkan pada udang tidak dapat disintesis. Kolesterol merupakan zat yang esensial bagi pertumbuhan dan kehidupan udang, karena zat ini dapat diubah menjadi hormon seks dan hormon ganti kulit serta digunakan sebagai unsur pokok hipodermis. Kadar kolesterol optimal untuk larva dan juvenil adalah sekitar 0,5 % (Kanazawa et al., 1971). Udang mampu mengubah C28 dan C29 sterols menjadi kolesterol (Teshima, 1971).
Asam lemak linoleat, linolenat dan arakidonat merupakan asam lemak esensial yang sangat penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang. Udang kurang efisien dalam mengubah asam linoleat dan asam linolenat menjadi asam lemak tidak jenuh yang lebih besar (Higher poly unsdturated fatty acid) dan perbandingan asam lemak yang terdapat pada udang substadium PL 1 dan PL 2 adalah 16 : 0,18 : 1,20 : 4 dan 22 : 6. Asam lemak 22 : 6 meningkat secara nyata dari telur sampai PL 1 dan PL 2, hal ini dimungkinkan karena makanannya mengandung asam lemak tersebut.
Deshimaru et al. (1979), menyatakan bahwa perbandingan asam linoleat dan linolenat lebih penting daripada kadar asam lemak tersebut sendiri-sendiri. Selanjutnya dinyatakan bahwa pemberian lemak 6 % dalam pakan dengan perbandingan kandungan asam linoleat 10 – 20 % dan asam linolenat 20 – 30 % memberikan pertumbuhan udang yang cukup baik. Perbandingan asam lemak dalam pakan tersebut didapatkan dengan cara mencampurkan minyak hati ikan pollack dan minyak kedelai berkisar antara 3 : 1 dan 1 : 1. Lemak yang berasal dari hewan laut umumnya baik sebagai sumber asam linoleat (Kanazawa et, al., 1979). Sedangkan minyak nabati merupakan sumber asam linolenat.
Fosfolipida merupakan ester asam lemak dan gliserol yang mengandung ion fosfat. Minyak dan biji-bijian banyak mengandung fosfolipida seperti sefalin yang banyak terdapat dalam minyak kacang kedelai. Fosfolipida lainnya adalah lechitin yang mempunyai bagian yang larut dalam air. Kanazawa et al. (1979) telah meneliti pengaruh beberapa fraksi lemak dari minyak tapes dalam pakan udang ternyata mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik bagi juvenil Penaeus japonicus, sedangkan pemberian 1 % sefalin dalam makanan udang mampu memberikan pertumbuhan yang lebih baik walaupun tidak sebaik lechitin namun lebih baik jika dibandingkan dengan tanpa pemberian fosfolipida sama sekali.

C.  KARBOHIDRAT
Karbohidrat merupakan senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen dan oksigen dalam perbandingan yang berbeda-beda. Karbohidrat digolongkan menjadi :
-         Monosakharida seperti glukosa, galaktosa dan fruktosa
-         Disakharida seperti sukrosa, maltosa dan trehalosa
-         Polisakharida seperti dekstrin dan pati.
Udang memeriukan karbohidrat dalamjumlah yang banyak, karena selain diperlukan sebagai pembakar dalam proses metabolisme, juga diperlukan dalam sintesis khitin dalam kulit keras. Walaupun demikian efisiensi penggunaan karbohidrat oleh udang berbeda, tergantung dari sumbemya, selain itu kemampuan udang dalam mencerna karbohidrat juga berbeda berdasarkan jenisnya.
Beberapa peneliti seperti Andrews et al. (1972), Sick dan Andrews (1973) serta Deshimaru dan Yone (1978) melaporkan bahwa penambahan glukosa dalam pakan dapat menghambat pertumbuhan udang penaeid. Hal ini dilaporkan pula oleh Abdel-Rahman et al. (1979) bahwa penambahan glukosa lebih dan 10 % dalam pakan dapat menghambat pertumbuhan Penaeus japonicus. Namun penambahan disakharida dalam pakan temyata dapat memberikan pertumbuhan yang cukup baik. Beberapa hal yang menyebabkan penambahan glukosa dalam pakan menghambat pertumbuhan udang adalah karena glukosa tidak dapat diubah menjadi trehalosa di dalam lambung, tetapi secara cepat diserap dan kemudian dilepaskan dengan segera ke dalam darah. Jika banyak glukosa yang diserap, akan didapat kadar glukosa yang tinggi dalam darah yang biasanya dipertahankan oleh pengendalian hormonal dan sulit digunakan sebagai sumber energi. Sedangkan disakharida, seperti maltosa tidak diserap dalam lambung, tetapi diubah menjadi glukosa dalam usus, kemudian menjadi trehalosa dalam hepatopankreas dan selanjutnya dilepaskan secara bertahap dalam darah. Dengan demikian maltosa siap digunakan sebagai sumber energi.
Sebagaimana telah diketahui, udang mempunyai eksoskeleton yang disusun oleh khitin yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan. untuk membentuk dan mengganti eksoskeleton selama ganti kulit. Hasil percobaan menunjukkan bahwa komponen utama dari eksoskeleton Crustacea disintesis dari glukosa melalui glusamin. Penambahan 0,52 % glucosamin dalam pakan dapat meningkatkan pertumbuhan Penaeus japonicus, akan tetapi temyata pemasukan khitin secara langsung dapat menghambat pertumbuhan.

D.  MINERAL
Diduga Crustacea dan juga hewan air lainnya mendapatkan mineral dengan menyerap air, tempat media hidupnya. Udang memerlukan mineral tertentu selama ganti kulit, karena seperti diketahui, selama ganti kulit eksoskeleton yang banyak mengandung mineral akan hilang. Conklin et al. (1973) menyatakan bahwa mineralisasi cangkang pada juvenil lobster meningkat melalui penambahan kalsium dalam pakan, tetapi tidak berbeda nyata dalam pertumbuhan maupun dalam kelangsungan hidupnya. Perbandingan kalsium dan posphor yang optimum untuk juvenil lobster adalah 1 : 2.
Shewbart et al. (1973), mengemukakan bahwa kalsium, kalium, natrium dan khiorida dibutuhkan oleh Penaeus aztecus dan dapat diperoleh dari media air laut. Walaupun demikian sebaiknya phosphor ditambahkan dalam pakan, karena phospor diperlukan dalam jumlah banyak sedangkan dalam air laut terbatas jumlahnya. Mengenai kepentingan mineral ini, Deshimaru dan Yone (1978) mengemukakan bahwa dalam pakan Penaeus japonicus perlu ditambahkan 2 % phospor, 1 % kalsium dan 2 % unsur langka (trace elements), tetapi tidak perlu penambahan kalium, magnesium dan besi. Sedangkan menurut Kitabayashi et al. (1971), pertumbuhan terbaik dapat dicapai oleh Penaeus japonicus melalui pemberian pakan dengan penambahan 1,04 % phospor dan 1,24 % kalsium. Selanjutnya Kanazawa (1982) melaporkan bahwa penambahan mineral dalam pakan juvenil Penaeus japonicus yaitu 1% kalsium, 1 % phospor, 0,3 % magnesium, 0,9 % kalium dan 0,006 % tembaga mampu memberikan pertumbuhan terbaik. Sedangkan penambahan 0,006 % besi dan 1,003 % mangan dalam pakan menghambat pertumbuhan juvenil Penaeus japonicus.

E.  VITAMIN
Penelitian mengenai kepentingan vitamin dalam pakan udang belum banyak dilakukan, sehingga data mengenai hal ini masih terbatas. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang kebutuhan vitamin untuk juvenil Penaeus japonicus. Kanazawa et al. (1976) mengemukakan bahwa pertumbuhan juvenil Penaeus japonicus, untuk setiap 100 gram pakan perlu ditambahkan 300 mg vitamin C (ascorbic acid), 400 mg inisitol, 6-12 mg vitamin B1 (thiamin) dan 12 mg vitamin B6 (Pyridoxin). Lightner et al. (1977) menyatakan bahwa Penaeus californiensis dan Penaeus stylirostris kadang-kadang menunjukkan gejala tidak normal yang disebut "Black death" yang ditandai wama hitam padajaringan di bawah kulit yang terdapat di seluruh permukaan tubuh, pada dinding oesophagus, usus, insang dan celah insang. "Black death" ini merupakan suatu gejala kekurangan vitamin C. Selanjutnya Lightner etal. mengemukakan bahwa dalam setiap 1 kg pakan perlu ditambahkan 2000 mg vitamin C. Penambahan yang cukup banyak ini dikarenakan vitamin C akan hilang sekitar 90 % dalam proses pembuatan pakan dan hilang sebanyak 40 % dalam proses pemanasan.










BAB IV
MAKANAN ALAMI

Makanan alami merupakan kebutuhan yang mutlak perlu pengadaannya untuk pakan larva udang. Walaupun banyakjenis plankton yang dapat digunakan sebagai makanan larva udang, namun untuk makanan alami yang baik hams memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
-         Mempunyai bentuk dan ukuran yang sesuai dengan mulut larva udang
-         Kandungan gizinya tinggi
-         Isi selnya padat dan mempunyai dinding sel yang tipis, sehingga mudah diserap
-         Cepat berkembang biak dan memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan faktor lingkungan
-         Tidak mengeluarkan senyawa beracun
-         Pergerakannya tidak terlalu aktif, sehingga mudah ditangkap oleh larva udang.
Untuk menjaga ketersediaan makanan alami untuk larva udang, maka perlu dilakukan kultur makanan alami yang berkualitas dan kuantitas yang optimal. Beberapa jenis plankton yang sering digunakan untuk makanan udang adalah Skeletonema costatum, Tetraselmis chilii, Chaetoceros calcitrans, Brachionus plicatilis dan Artemia sp.

A.  TEKNIK KULTUR PLANKTON
1.  Kultur Murni
Cara ini dilakukan dalam media agar untuk mendapatkan satu species plankton. Biasanya media agar dipupuk dengan pupuk yang sesuai dengan plankton yang diinginkan. Peralatan yang dibutuhkan, antara lain, petridish, jarum ose/mikropipet, erienmeyer, pipet, tabung reaksi dan mikroskop. Seluruh peralatan dan media kultur kecuali mikroskop, sebelum digunakan harus disterilkan dalam autoclave (temperatur 100°C, tekanan 1 Atmosfir selama 10 menit).
Larutan agar yang telah dipupuk, dituangkan ke dalam petridish, biarkan beberapa saat sampai menjadi padat. Ambillah contoh air plankton dengan jarum ose/mikropipet dan oleskan ke permukaan media agar, kemudian ditutup dan disimpan pada suhu kamar. Beberapa hari kemudian permukaan agar tersebut telah ditumbuhi koloni-koloni plankton contoh. Dengan menggunakan mikroskop, masing-masing koloni diamati dan dicari koloni plankton yang dikehendaki. Apabila sudah didapatkan, maka dapat dikembangkan dalam tabung reaksi dan digunakan sebagai bibit. Apabila koloni yang diamati masih tercampur dengan jenis yang lain, maka inokulasi tersebut harus diulangi sampai mendapatkan koloni yang murni. Koloni murni ini diinkubasikan dalam ruangan yang ber-AC untuk menjaga kestabilan suhu antara 25 - 27°C.

Kestabilan suhu antara 25° - 27°C

Gambar 1. teknik kultur alami

2.  Kultur Beberapa Jenis Plankton
a.  Skeletonema costatum
Kelompok ini mempakan algae uniseluler yang memerlukan cahaya matahari untuk proses fotosintesisnya. Sel diatomnya mempunyai kemampuan menghasilkan skeleton ekstemal silika (frustule). Bentuknya seperti kotak dengan cytoplasma yang memenuhi isi sel. Pada sel tersebut terdapat katup besar yang menutup katup yang lebih kecil. Bentuk katupnya sangat bervariasi, ada yang sirkulasi, eliptical, polygonal, kubus, segitiga atau tidak beraturan.
Reproduksinya adalah dengan pembelahan sel, yaitu protoplasma terbagi menjadi dua bagian yang disebut epitheca dan hypotheca. Masing-masing bagian dari protoplasma tersebut membentuk epitheca dan hypotheca baru. Dari pembelahan sel tersebut akan dihasilkan 2 sel yang ukurannya lebih kecil daripada sel induknya.

Gambar2.  Skeletonema Costatum


Gambar 3. system reproduksi sel pada skeletonema costatum


TABEL 3. CONTOH PENGGUNAAN PUPUK UNTUK SKELETONEMA COSTATUM

No
JENIS PUPUK
FORMULA
I
II
III
IV
V
VI
VII
1
2
3
4
5
6
7
8
9

10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
KNO3
CO (NH2)2(UREA)
Na NO3
Fe NH4 (SO4)2
KH2PO4
Na H PO412H2O
Na H2 PO42H2O
Ca (H2PO4)
Na-GLYCEROPHOSPHAT
Na2 SiO3
K2 SiO3
KCl
Fe Cl36H2O
THIAMIN
VIT. B12
MICRONUTRIEN
TRACE BUFFER
Na2 EDTA
AIR LAUT
202 mg



7,7 mg






13 mg

5 mg





1 liter
100 mg




10 mg




10 mg


5 mg





1 liter

60 mg



10 mg




10 mg








1 liter

26 mg





23 mg




44 mg






1 liter






10 mg



10 mg








1 liter

30 mg
150 mg






10 mg
20 mg








1 liter
100 mg


10 mg






11 mg


100 mg
1 mg




1 liter
Sumber : Liao I Chiu et al., 1983
b.  Tetraselmis chuii
Kelompok alga hijau (Chlorophyceae) ini mempunyai peranan penting pula untuk makanan alami larva udang. Species dari kelompok ini adalah bersel tunggal dan mempunyai flagella serta mengandung banyak pigmen hijau (khlorophil), sehingga jika dilihat di bawah mikroskop tampak berwama hijau dengan plastida khioroplast. Pigmennya terdiri dari dua macam, yaitu; khiorophil a dan khiorophil b, serta sedikit pigmen lain yaitu caroten, xanthophyl dan carotenoid merah. Inti sel terlihat jelas dan berukuran kecil, dinding sel mengandung bahan selulosa dan pektosa. Kelompok ini hidup kosmopolit dan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
Reproduksinya terjadi secara vegetatif aseksual dan seksual. Pada reproduksi aseksual, terjadi pembelahan protoplasma dari 2, 4, 8 dan seterusnya dalam bentuk zoospora setelah dilengkapi dengan 4 buah flagella. Pada reproduksi seksual, setiap sel mempunyai gamet yang identik (isogami) yang kemudian menurunkan zygote baru dan diikuti dengan perkembangan zygote yang sempurna.
Gambar 5. Sistem Reproduksi pada Tefraselmis Chuii
  
Di bawah ini formula Wayne Medium untuk kultur Tetraselmis chuii dan beberapa algae lainnya.
Stock A :
Fe Cl3 6H2 O                                                      1,30 gram
Mn CI2 4H2 O                                                     0,36 gram
H3 BO3                                                              33,60 gram
EDTA (Na salt)                                                  45,00 gram
Na H2 PO4 2H2 O                                                20,00 gram
NaNO3                                                              100,00  gram
Trace metal solution                                          1,0  ml
Air suling (Destilled water)                                  1,0  I
Tambahkan 1 ml stock A untuk 1 liter air laut.

Stock B :
Vitamin B12 (Cyanobalamin)                                10 mg
Vitamin B1 (thiamin)                                           200 mg
Air suling (Destilled water)                                  100 ml
Tambahkan 0,1 ml stock B untuk 1 liter air laut.


Trace Metal Solution :
Zn Cl2                                                               2,1 gram
Co Cl2 6H2 O                                                     2,0 gram
(NH4)6 Mo7 O24 4H2O                                           0,9 gram
Cu SO4 5 H2 O                                                   2,0 gram
Air suling (Destilled water)                                  100  ml

Sumber : Liao I Chiu, 1983.

c.  Chaetoceros calcitrans
Chaetoceros termasuk dalam kelompok diatomae (Bacillariophyceae) yang mempunyai banyak species yang dimungkinkan untuk pakan larva udang. Jenis yang sering digunakan adalah Chaetoceros calcitrans
Gambar 6. Chaetoceros sp

yang mempunyai karakteristik toleransi yang tinggi terhadap temperatur. Bila kulturnya dilakukan pada temperatur 40°C, tidak terdapat pigmentasi, sedangkan pada temperatur 20 -30°C pertumbuhan terjadi secara normal, sedangkan temperatur yang optimal adalah 25 - 30°C. Salinitas minimal yaitu 6 permil akan tetapi yang optimal adalah 17 - 25 permil.

Formulasi pupuk untuk Chaetoceros sp :
Jenis nutrien                                                    Konsentrasi (mg/liter)
NH4 NO3                                                                        79,2
NH2 PO4                                                                        10,0
Na2 Si O3                                                                       15,0
Fe Cl3                                                                           1,3
EDTA                                                                           10,0

Trace Metal Medium :
-          Na NO3                                                             150 mg
-          Na H2 PO4 2H2 O                                                10 mg
-          Na2 SiO3                                                            10 mg
-          Mikronutrien                                                      1 ml
-          Air laut                                                              1 liter
Mikronutrien : 7,3 gram Na2 EDTA, 6 gram Fe C136H2O, 12 mg Na2Mo O42H2O, 44 mg Zn SO47H2O, 360 mg Mn Cl24H2O, 20 mg CoCl26H2O, 2 mg CuSO4 5H2O. Seluruhnya dilarutkan dalam air suling (destilled water) 1 liter.

d.  Brachionus plicatilis
Kelompok ini termasuk dalam phyllum Rotifera, klas Mogononta, Ordo Ploima, familia Crachionidae, genus Brachionus.
Kultur Rotifera ini dapat dilakukan dalam bak kayu volume 300 liter dengan salinitas 18 permil. Setelah peralatan dibersihkan, air cukup disaring dengan saringan 60 mikron. Produksi Rotifera ini sangat tergantung pada penyediaan pakannya. Beberapajenis pakan hidup yang dapat dipergunakan untuk pakan Rotifera adalah : Chlorella sp, Tetraselmis sp dan ragi roti. Dari antara beberapa jenis tersebut yang paling banyak dipakai adalah Chlorella sp.
Cara yang praktis untuk kultur Brachionus plicatilis yaitu dengan menginokulasikan pada tangki yang telah diisi air laut dan telah ditumbuhi chlorella.
Gambar 7. Brachionus plicatilis

TABEL 4.  PUPUK UNTUK CHLORELLA SP.

Jenis Pupuk
Konsentrasi (mg/liter)
-                      Amonium sulfat
-                      Urea
-                      Calcium superhospat
-                      Clewat
-                      N : P (16 : 20)
150
7,5
25
-
-
100
5
15
5
-
300
-
50
-
-
100
10 – 15
-
-
10 - 15
Clewat 32 adalah produk komersial yang mengandung mikronutrien
Sumber; Liao I Chiu, 1983

B.  PENYEDIAAN NAUPLII ARTEMIA

Kebutuhan Artemia sebagai pakan hidup bagi pasca larva udang merupakan persyaratan yang mutlak disediakan, karena sampai saat ini kedudukan Artemia belum dapat digantikan dengan yang lain. Cyst yang disediakan untuk pakan tersebut perlu ditetaskan terlebih dahulu. Adapun kualitas penetasan cyst dapat dilihat dari berbagai penilaian, yaitu :

-          Hatching Efficiency (HE) yaitu banyaknya nauplii yang menetas dari 1 gram cyst Artemia.

-          Hatching Percentage (H %) ialahjumlah nauplii yang menetas dibandingkan dengan jumlah cyst yang digunakan.

-          T0 : Masa inkubasi yang diperlukan sampai terjadi penetasan nauplii yang pertama.

-          T90 : Masa inkubasi yang diperlukan hingga mencapai 90 % penetasan.

Gambar 8. Cyst Artemia

Gambar 9.  nauplii artemia yang baru menetas

Dalam prakteknya, penyediaan pakan hidup Artemia harus melalui proses dekapsulasi terlebih dahulu, karena akan diperoleh beberapa keuntungan, yaitu :
-          Tidak perlu adanya pemisahan nauplius dari cangkang, karena chorion cyst sudah dihilangkan.
-          Kandungan energi lebih tinggi karena tidak dipakai untuk proses penetasan.
-          Cyst telah disucihamakan melalui larutan hipokhlorit.
-          Dapat langsung digunakan untuk makanan larva.
-          mengurangi jumlah tenaga kerja.
Adapun langkah-langkah prosedur dekapsulasi adalah sebagai berikut :
1.     Hidrasi cyst
2.     Perlakuan dalam larutan hipokhlorit
3.     Pencucian dan diaktivasi residu khiorin
4.     Dapat digunakan secara langsung sebagai makanan atau didehidrasi untuk penyimpanan.

1.  Hydrasi Cyst
Penghilangan lapisan khorion yang sempuma hanya dapat dilakukan jika cyst berbentuk bulat. Untuk mendapatkan keadaan itu, cyst harus dibiarkan menggembung dengan cara hidrasi. Umumnya hidrasi penuh dapat tercapai setelah 1 - 2 jam dengan air tawar atau air laut (maksimal 35 permil) pada suhu 25°C.

2.  Perlakuan dalam Larutan Hipokhlorit
Untuk perlakuan dekapsulasi, dapat digunakan larutan NaOCI atau Ca (OCl)2 yang lebih dikenal dengan kaporit. Jika NaOCI yang digunakan, maka Natrium dan OCl terionisasi dalam larutan dan terbentuk HOCl dalam air, sedangkan jika Ca (OCl)2 yang digunakan akan dihasilkan 2 ion OCl untuk setiap molekul hipokhlorit. Dapat dikatakan bahwa OCl berperan dalam khorion, tetapi hal ini masih belum pasti. Aktivitas dan konsentrasi maksimal adalah pada PH 10, dibandingkan pada PH rendah. 0,5 gram bahan aktifdan 14 ml larutan dekapsulasi diperlukan untuk dekapsulasi 1 gram cyst. Di banyak negara, Ca (OCl)2, lebih murah sebagai sumber khiorin aktifdaripada Na Ocl2 Ca (OCl)2 merupakan produk yang lebih stabil daripada Na OCl dan dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Aktivitas Ca (OCl)2 biasanya tepat seperti yang dinyatakan dalam label dari produk komersial (umumnya 70 % bahan aktif). Aktivitas larutan Na OCl dapat ditentukan dengan mengukur indeks refraktif pada refraktometer. Nilainya adalah :
Y = 3000 X-4003
Y = Aktivitas Na OCl dalam gram per liter
X = Indeks refraktif.
Dengan Na OCl, 0, 15 gram NaOH teknis (0,33 ml, 40 % larutan) harus ditambahkan dalam tiap gram cyst untuk meningkatkan PH larutan dekapsulasi sampai sekitar 10. Jika yang digunakan Ca(OCl)2 maka 0,67 gram Na2CO3 atau 0,4 gram CaO harus dibuat dengan air laut 35 permil. Untuk Ca (OCl)2, yang digunakan adalah cairannya saja, dengan cara mencampurkannya dengan air laut, volume telah ditentukan dan diaerasi kuat selama sekitar 10 menit. Selanjutnya aerasi dimatikan dan suspensi dibiarkan mengendap serta cairan yang mengandung larutan Ca (OCl)2, dapat digunakan untuk dekapsulasi.
Setelah pemindahan cyst dalam larutan dekapsulasi, maka harus dipertahankan dalam keadaan suspensi dengan aerasi secara kontinu. Dalam beberapa menit mulai terjadi reaksi oksidasi eksotermik dan tumbuh busa. Sejalan dengan larutnya khorion, terjadi perubahan warna cyst, yaitu dari coklat tua ke abu-abu, kemudian oranye. Selama dekapsulasi, temperatur harus diperiksa secara teratur dan es harus ditambahkan untuk mencegah peningkatan temperatur di atas 40°C. Jika cyst dipertahankan dalam larutan dekapsulasi, akan membunuh embrio. Oleh karena itu, cyst harus dipindahkan segera dari larutan setelah proses selesai. Penyelesaian proses dapat dilakukan dengan pengamatan secara periodik setelah adanya perubahan warna dari cyst yang didekapsulasi.

3.  Pencucian dan Diaktivasi Residu Khiorin
Selama perlakuan, larutan dekapsulasi bereaksi terhadap khorion cyst. Akibat reaksi tersebut, terbentuk beberapa senyawa organokhiorin yang melekat pada cyst hasil dekapsulasi yang dapat mengurangi kualitas dan kegunaan cyst yang didekapsulasi. Oleh karena itu, setelah pencucian dapat ditambahkan 1 % Na2S203, sebanyak 0,5 ml/gram cyst sehingga membentuk persenyawaan yang larut dengan persenyawaan organokhlorin. Dengan demikian dapat menghilangkan sisa-sisa larutan dekapsulasi pada cyst tersebut.

4.  Penggunaan Langsung Cyst atau Dehidrasi untuk Penyimpanan
Cyst hasil dekapsulasi dapat diberikan langsung kepada predator jika diperlukan. Cyst ini dapat disimpan untuk beberapa hari dalam refrigerator pada suhu 0 - 4°C. Karena dapat tenggelam dalam air tawar maupun air laut, maka waktu digunakan langsung sebagai pakan predator, diperlukan aerasi dan sirkulasi cukup untuk mempertahankan cyst dalam suspensi. Untuk penyimpanan cyst hasil dekapsulasi, dehidrasi hams dilakukan setelah selesai prosedur diaktivasi dan pencucian. Untuk itu, cyst harus dipertahankan dalam larutan jenuh Nad (± 330 gram/liter). Setelah sekitar 3 jam, larutan garam harus diganti untuk mengefektifkan dehidrasi. Jika didehidrasi, cyst dekapsulasi akan menjadi seperti biji kopi dan tenggelam walaupun dalam larutan garam jenuh. Cyst dekapsulasi yang terhidrasi ini harus ditiriskan dan dengan menggunakan saringan 120 mikron, dipindahkan ke dalam wadah plastik, ditambahkan larutan garam dan disimpan dalam refrigerator atau freezer.
Penyimpanan cyst dekapsulasi dalam larutan garam mempunyai keterbatasan. Selama 6 bulan pertama setelah dekapsulasi, cyst masih dapat mempertahankan daya tetas maksimalnya, sekalipunj ika disimpan pada temperatur 20°C.Untukperiode yang lebih lama, kelangsungan hidup cyst tampaknya menurun. Penurunan daya tetas cyst dekapsulasi yang disimpan dalam larutan garam mungkin disebabkan oleh kandungan aimya yang relatif tinggi (sekitar 20 %). Penyimpanan untuk waktu yang lama dari cyst dekapsulasi kering (kandungan air di bawah 5%) memungkinkan jika disimpan dalam keadaan kering dalam media yang bebas oksigen (wadah diisi nitrogen atau hampa udara).

C.  PRODUKSI BIOMASSA ARTEMIA

Sebagaimana telah dijelaskan, Artemia merupakan salah satu makanan hidup yang sampai saat ini paling banyak digunakan dalam usaha budidaya udang, khususnya dalam pengelolaan pembenihan. Sebagai makanan hidup, Artemia tidak hanya dapat digunakan dalam bentuk nauplius, tetapi juga dalam bentuk dewasanya. Bahkan jika dibandingkan dengan naupliusnya, nilai nutrisi Artemia dewasa mempunyai keunggulan, yakni kandungan proteinnya meningkat dari rata-rata 47 % pada nauplius menjadi 60 % pada Artemia dewasa yang telah dikeringkan. Selain itu kualitas protein Artemia dewasa juga meningkat, karena lebih kaya akan asam-asam amino essensial. Demikian pula jika dibandingkan dengan makanan udang lainnya, keunggulan Artemia dewasa tidak hanya pada nilai nutrisinya, tetapi juga karena mempunyai kerangka luar (eksoskeleton) yang sangat tipis, sehingga dapat dicerna seluruhnya oleh hewan pemangsa.
Melihat keunggulan nutrisi Artemia dewasa dibandingkan dengan naupliusnya dan juga jenis makanan lainnya, maka Artemia dewasa merupakan makanan udang yang sangat baikjika digunakan sebagai makanan hidup maupun sumber protein utama makanan buatan. Untuk itulah kultur massal Artemia memegang peranan sangat penting dan dapat dijadikan usaha industri tersendiri dalam kaitannya dengan suplai makanan hidup maupun bahan dasar utama makanan buatan.
Untuk dapat diperoleh biomassa Artemia dalam jumlah cukup banyak, harus dilakukan kultur terlebih dahulu. Produksi biomassa Artemia dapat dilakukan secara ekstensif pada tambak bersalinitas cukup tinggi yang sekaligus memproduksi Cyst (kista) dan dapat dilakukan secara terkendali pada bak-bak dalam kultur massal ini. BBAP (Balai Budidaya Air Payau) Jepara telah berhasil melakukan penerapan metode untuk mendapatkan produksi biomassa dan cyst Artemia secara berkesinambungan di tambak bersalinitas tinggi. Teknologi yang dihasilkan ini sesungguhnya dapat diserap oleh masyarakat, khususnya para petani yang memiliki tambak garam. Sedangkan dalam hal produksi biomassa pada bak-bak secara terkendali, telah pula dibuat modifikasi teknik kultur yang sangat memungkinkan dapat diterapkan oleh para pengusaha pembenihan, bahkan dapat dijadikan usaha industri skala rumah tangga. Dalam melakukan kultur massal Artemia secara terkendali berdasarkan metode yang dikembangkan oleh BBAP Jepara, diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut :

1.  Bak Pemeliharaan dan Perlengkapan
Kultur Artemia dapat dilakukan pada bak-bak yang terbuat dari tembok, bak kayu berlapis plastik maupun bak dari fiberglass. Kapasitas bak tersebut minimal 1 ton air, Pada usaha pembenihan udang,
Gambar 10. konstruksi bak sengan system air berputar

kultur Artemia ini dapat dilakukan pada bak-bak untuk pemeliharaan larva udang. Bak kultur tersebut harus dilengkapi dengan peralatan aerasi dan jika memungkinkan dilengkapi dengan air lift untuk membuat sistem air berputar.

2.  Makanan
Karena cara makan Artemia adalah dengan menyaring (Filter feeder), maka diperlukan makanan dengan ukuran partikel khusus, yaitu lebih kecil dari 60 mikron. Makanan yang diberikan dapat berupa makanan buatan maupun makanan hidup atau plankton. Makanan buatan yang memberikan hasil cukup baik dan mudah didapat adalah dedak halus. Cara pemberiannya harus disaring terlebih dahulu dengan saringan 60 mikron. Sedangkan plankton yang dapat digunakan sebagai makanan Artemia adalah jenis plankton yang juga digunakan sebagai makanan larva udang, seperti Tetraselmis sp, Chaetoceros sp, Skeletonema sp. Oleh karena itu kultur Artemia dengan plankton sebagai makanan alami lebih mudah dilakukan dalam suatu unit usaha pembenihan udang.

3.  Prosedur Pemeliharaan
Untuk mendapatkan biomassa Artemia, nauplius Artemia dikultur dalam beberapa hari. Lama pemeliharaan tergantung pada ukuran Artemia yang dikehendaki. Jika Artemia digunakan sebagai makanan juvenil udang, maka lama pemeliharaan sekitar 7 hari, sedangkan jika digunakan sebagai makanan udang dewasa maupun untuk diproses sebagai bahan baku makanan buatan, maka lama pemeliharaan sekurang-kurangnya 15 hari. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengkultur Artemia adalah sebagai berikut :
  1. Tetaskan cyst Artemia untuk menghasilkan nauplius.  Jumlah cyst yang ditetaskan 10 - 15 gram untuk 1 ton air dengan perhitungan efisiensi penetasannya adalah 200.000 nauplius/gram cyst.
  2. Isi bak dengan air bersalinitas antara 20 - 35 permil yang disaring terlebih dahulu.
  3. Tebarkan nauplius Artemia yang baru menetas dan aerasi medium pemeliharaan.
  4. Berikan makanan (dedak halus atau plankton) jumlahnya ditentukan berdasarkan kecerahan air medium pemeliharaan. Pemberian makanan ini dilakukan sampai kecerahan air antara 15 – 20 cm dan dipertahankan terns selama masa pemeliharaan. Untuk mengukur kecerahan air medium pemeliharaan dapat digunakan "tingkat kecerahan" yang berskala (dalam centimeter). Selama pemeliharaan, amati perkembangan Artemia, yaitu pertumbuhan dan perkiraan yang masih hidup.
  5. Setelah lama pemeliharaan tertentu, 7 sampai 15 hari, dapat dilakukan pemanenan biomassa Artemia. Caranya adalah matikan aerasi dan biarkan sekitar 15 menit. Artemia akan muncul di permukaan dan selanjutnya dipanen dengan menggunakan seser, lalu dicuci. Biomassa Artemia dapat langsung diberikan kepada udang yang disesuaikan dengan ukurannya atau disimpan dalam bentuk segar (dalam freezer) maupun dikeringkan untuk dibuat tepung Artemia.















BAB V

PAKAN BUATAN

Pakan buatan merupakan suatu alternatif yang penyediaannya secara kontinu memungkinkan dan dapatdigunakan sebagai pengganti atau pelengkap makanan hidup. Akan tetapi kenyataannya pembuatan secara komersial untuk udang mempunyai harga yang relatif cukup tinggi, karena sebagian besar masih diimpor. Walaupun demikian masih ada cara yang dapat dilakukan untuk membuat pakan udang secara sederhana dan murah. Dengan demikian selain dapat mengambil manfaat karena menggunakan pakan buatan sendiri juga dapat menekan biaya operasional. Contoh spesifikasi kebutuhan nutrisi untuk pakan udang dan sumber asal bahan, tertera seperti pada Tabel 5.

A.  TEKNIK PEMBUATAN PAKAN LARVA

Berdasarkan teknik pembuatahnya, pakan untuk larva udang dapat dibuat dalam bentuk basah dan kering.

Keuntungan pakan berbentuk basah adalah :

-          Dapat dibuat dengan peralatan yang sederhana.

-          Secara biologis udang lebih menyukai makanan yang lunak daripada yang kering.

-          Pemanasan dan pengeringan dapat dihindari, sehingga dapat mencegah kehilangan nutrien dalam pakan.

Kerugiannya adalah :

-          Mudah rusak karena mikroorganisma, kecuali jika ditambahkan bahan pengawet.


TABEL 5.  SPESIFIK KEBUTUHAN NUTRISI UNTUK PAKAN UDANG DAN SUMBER ASAL BAHAN
NO
NUTRISI
LEVEL PERKIRAAN
SUMBER
1.
2.
3.


4.
5.
6.
7.


8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Kadar air
Protein kasar
Lemak kasar
20 – 5 n3 atau
22 : 6 n3
Cholesterol
Lecithin (Phospholipida)
Serat kasar
Nitrogen Ekstrak bebas (Karbohidrat yang dapat dicernakan)
Abu
Kalsium (Ca)
Phospat (P)
Magnesium (Mg)
Kalsium (K)
Copper (Cu)
Mangan (Mn)
Besi (Fe)
Selonium (Se)
Seng (Zn)
Yodium (I)
Vitamin
Energi Metabolik
< 10 %
38 – 46 % (Tergantung ukuran)
5 – 7 %

0,5 – 1,0 %
0,3 – 0,6 %
1,0 – 1,5 %
< 4 %


20 – 26 %
8 – 15 %
2,5 – 4 %
1 – 1,5 %
0,1 – 0,3 %
0,8 – 1,5 %
10 – 20 mg/kg
20 – 40 mg/kg
20 – 40 mg/kg
1 – 2 mg/kg
50 – 100 mg/kg
10 – 20 mg/kg
(Lihat table 2)
3200 kal/kg
Tepung Ikan, Tepung udang
Tepung cumi, Tepung Kedelai
Minyak dari ikan laut & jenis invertebrate

Lecithin Kedelai


Terigu, ekstrak jagung, bakatul.


Daging, tepung tulang
Tulang ikan, Deka Kal Pos
Kulit Oyster, natrium, Phospat
Magnesium Chlorida atau karbonat
Magnesium Chlorida atau karbonat
Copper Oksida atau sulfat
Mangan Oksida atau sulfat
Ferrosulfat atau karbonat
Sedium Selenito
Seng Oksida atau sulfat
Kalium Iodine
-         Nutrien mudah teroksidasi, khususnya asam askorbat, kecuali bila disimpan dalam keadaan beku.
-         Jaringan daging pada pakan yang basah (tidak dipanaskan) dapat mengandung enzim anti thiamin.
Contoh pakan dalam bentuk basah adalah mikrokapsul telur (egg microcapsulated diet) dan puding telur (egg custard). Sedangkan pakan dalam bentuk kering adalah artifisial plankton dan flake diet (pakan berbentuk serpihan).

1.  Egg Microcapsulated
Dasar pertimbangan penggunaan telur bagi pakan larva adalah karena telur mempunyai nilai nutrisi yang cukup tinggi, mudah didapat dengan harga relatif murah, mempunyai keseimbangan dalam nutrisi yang dikandungnya. Komposisi kandungan nutrisi pada telur ayam dapat dilihat seperti di bawah ini :

Tabel 6.  Komposisi Komponen Telur Ayam (Chow, 1978)


Telur utuh
Putih telur
Kuning telur
Protein (%)
Lemak (%)
Energi (kkal/kg)
Energi metabolis (kkal/kg)
Rasis protein
Kalsium (%)
Phospor (%)
48,8
43,2
5,830
4,810
9,8
0,2063
0,873
76,9
-
3,070
2,533
3,3
0,0427
0,282
43,8
62,2
6,910
5,700
17,3
0,2653
1,020


Telur mentah mengandung zat avidin yang dapat menghambat pertumbuhan, sehingga zat tersebut harus dihilangkan dulu melalui pemanasan sebelum diberikan kepada larva udang. Walaupun demikian, pemanasan dapat menyebabkan pemisahan kuning dan putih telur sebagai akibat denaturasi protein. Untuk mengikat kedua bagian tersebut menjadi pakan yang homogen stabil dalam air, diperlukan penambahan bahan pengikat (binder) yang sesuai dan itu berarti merupakan penambahan biaya. Oleh karena itu, dalam pembuatannya diperlukan metode tertentu dan produk yang dihasilkan harus mempunyai persyaratan sebagai berikut :
a.     Mempunyai nilai gizi tinggi dan bebas dari zat avidin.
b.    Ukuran dan tekstur produk harus dapat diterima oleh larva udang.
c.     Mempunyai ketahanan dalam air (water stability) yang cukup baik.
d.    Mutunya tidak cepat menumn karena aktivitas mikroba dalam air.
e.     Dapat disimpan dengan baik melalui penyimpanan biasa.
f.     Mudah dalam pembuatan.
Prosedur yang dapat digunakan dalam pembuatan mikrokapsul telur yang memenuhi persyaratan tersebut di atas adalah sebagai berikut :
a.     Isi telur dimasukkan dalam wadah yang cukup kuat.
b.    Telur dikocok kuat-kuat dengan menggunakan blender sampai homogen.
c.     Air mendidih (kira-kira 150 cc per satu butir telur) dicampurkan dengan cepat ke dalam wadah dan diaduk merata. Melalui proses ini akan didapatkan suspensi yang mengandung butiran-butiran yang sangat halus.
d.    Air dingin ditambahkan ke dalam wadah sampai volume yang dikehendaki. Setiap 50 gram telur mengandung sekitar 12 gram bahan kering.
e.     Pemberian pakan kepada larva udang dapat dilakukan langsung dengan sendok atau sprayer.
f.     Makanan yang tidak digunakan disimpan dalam wadah tertutup dan ditempatkan dalam refrigerator.
Dalam pakan mikrokapsul telur dapat juga ditambahkan beberapa vitamin dan kalsium yang penting bagi pertumbuhan larva udang, karena kemungkinan telur kurang mengandung zat-zat tersebut. Penambahan vitamin dan kalsium dilakukan selama pembuatan pakan tahap kedua. Selain itu perlu juga ditambahkan bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, seperti tepung terigu dan tepung tapioka. Sebelum ditambahkan, bahan tersebut digiling menjadi partikel yang sangat halus terlebih dahulu.

2.  Egg Custard
Pembuatan egg custard, pada prinsipnya sama dengan microencapsulated diet, karena bahan utama yang digunakan sebagai sumber protein berasal dari telur. Akan teta'pi dapat juga digunakan bahan tambahan untuk sumber protein yang berasal dari bahan hewani yang mempunyai jaringan daging lunak, seperti kerang, tiram, artemia dewasa. Sebagai contoh, bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan egg custard adalah telur 35 %, kerang segar 35 %, tepung terigu 20 %, minyak ikan 5 %, vitamin premix 3 % dan kalsium 2 %. Prosedur pembuatan egg custard dengan bahan-bahan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Bahan-bahan dihancurkan sampai homogen dengan menggunakan blender.
  2. Bahan yang telah dihaluskan dituangkan ke dalam wadah yang cukup kuat, kemudian dikukus. Selanjutnya akan terbentuk emulsi padat semacam puding.
  3. Pemberian pakan dapat dilakukan langsung kepada larva udang setelah memecah dan menyaringnya terlebih dahulu sesuai dengan ukuran partikel yang dikehendaki. Ukuran saringan yang digunakan disesuaikan menurut stadium larva, yaitu :
-          Saringan 5 - 30 mikron untuk stadium zoea
-          Saringan 40 - 90 mikron untuk stadium mysis
-          Saringan 90 - 250 mikron untuk stadium post larva 1 – 15
-          Pakan yang tidak digunakan disimpan di refrigerator.
3.  Pakan Berbentuk Flake (Flake Diet)
Pembuatan pakan dalam bentuk flake, memerlukan peralatan yang spesifik yang dikenal dengan nama "Electro Steam Double Drum Dryer". Dengan alat tersebut akan dihasilkan pakan buatan kering seperti kertas. Ukuran ketipisan serpihan dapat diukur pada alat tersebut, dengan cara mengaturjarak double dryer. Adapun flow chart alat tersebut dapat dilihat seperti pada gambar.
Salah satujenis pakan yang cukup baik untuk larva udang dan banyak diperjualbelikan adalah "Brine Shrimp Flake" (Anemia Flake). Jenis pakan tersebut banyak diimpor dari Taiwan. Umumnya semua pembenihan udang menggunakanjenis ini dalam setiap siklus pemeliharaannya. Keuntungan pakan flake, selain mempunyai bentuk fisik yang sesuai juga praktis dalam pemberiannya.

Gambar 11. Electroteam Double Drum Dryer
Teknologi pembuatan pakan flake tersebut telah berhasil dikembangkan oleh Balai Budidaya Air Payau Jepara. Adapun cara pembuatan pakan flake tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Seluruh bahan disaring dengan menggunakan saringan 100 mikron.
  2. Campurkan dan aduk sampai homogen dengan menggunakan mixer.
  3. Tambahkan air secukupnya sehingga terbentuk larutan kental (solution).
  4. Panaskan alat, aturlah tekanan dan temperatur (temperatur tidak lebih dari 80°C).
  5. Bahan yang telah homogen, kemudian diproses dengan Electro steam double drum dryer.
  6. Hasil yang akan didapat adalah pakan flake dalam keadaan kering.
Pakan flake ini biasanya digunakan untuk udang stadium pasca larva (PL 1-PL 15), yaitu dengan cara diremah terlebih dahulu. Walaupun demikian, pakan flake ini juga dapat digunakan untuk udang stadium zoea dan mysis, caranya : flake tersebut disaring dengan menggunakan saringan 25 - 30 mikron.

Formulasi Pakan Flake (Laboratorium BBAP Jepara, 1988)
Formula A :                                                      Kandungan nutrisi :
Tepung Artemia                         60 %                 Protein                          46,20 %
Tepung ikan                              15 %                 Lemak                          5,5 %
Yeast                                        5 %                  BETN                            15,30 %
Na-Alginate                               4 %                  Serat kasar                   2,40 %
Terigu                                       5 %                  Air                                2,9 %
Telur                                         2 %                  Ca                                2,83 %
Vit Mix                                      3 %                  P                                  1,52 %
Emuisi lemak                            3 %
Lecithin, Atractan,dll.                 3 %

Formula B :                                                      Kandungan nutrisi :
Tepung basah                           50 %                 Protein                          46,20 %
Tepung udang                           20 %                 Lemak                          4,50 %
Yeast                                        10 %                 BETN                            15,30 %
Gellatinen                                  4 %
Terigu                                       5 %
Telur                                         3 %
Vit Mix                                      3 %
Emuisi lemak                            3 %
Lecithin, atractant, dll                 3 %
Formula C :                                                      Kandungan nutrisi :
Tepung Artemia                         55 %                 Protein                          48,2 %
Tepung cumi                             20 %                 Lemak                          5,1 %
Yeast                                        5 %                  BETN                            15,8 %
Progress I                                 4 %                  Serat kasar                   2,8 %
Terigu                                       5 %                  Air                                5,3 %
Telur                                         2 %                  Ca                                2,41 %
Vit mix                                      3 %

4.  Bioenkapsulasi Nauplius Artemia
Bioenkapsulasi adalah suatu cara untuk memperkaya medium penetasan nauplius Artemia dengan pemberian asam lemak esensial (W3-HUFA, Highly Unsaturated Fatty Acid). Asam lemak esensial tersebut bisa didapatkan dari lemak minyak ikan atau invertebrata laut lainnya.
Dasar penggunaan teknik bioenkapsulasi pada nauplius Artemia adalah karena sifat Artemia sebagai penyaring makanan (Filter feeder) yang tidak selektif, maka variasi nutrisi Artemia untuk setiap strain yang berbeda dalam akti vitas biologiknya dapat diatasi melalui peningkatan kualitas nutrisi dengan cara manipulasi makanannya. Dengan demikian nauplius Artemia yang dihasilkan akan berkualitas tinggi sehingga akan mampu menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang yang memangsanya (Kontara, 1989).

Cara Bioenkapsulasi :
Bahan yang digunakan untuk bioenkapsulasi nauplius Artemia berasal dari lemak yang mengandung W3-HUFA cukup tinggi, dalam hal ini digunakan minyak hewani yang berasal dari laut. Untuk dapat digunakan sebagai bahan bioenkapsulasi, minyak ikan terlebih dahulu diemulsikan dalam air dan kuning telur ayam dengan menggunakan homogenizer atau blender selama tiga menit. Perbandingan minyak ikan, air dan kuning telur ayam adalah 7 : 2:1.
Nauplius Artemia yang sudah menetas, yang berasal dari wadah penetasan, selanjutnya diperkaya (bioenkapsulasi) dengan emulsi minyak ikan. Wadah yang digunakan untuk bioenkapsulasi sama dengan wadah yang digunakan untuk penetasan cyst Artemia dan dilakukan aerasi secara kontinu. Kepadatan nauplius Artemia yang digunakan dalam bioenkapsulasi adalah sebanyak ± 300.000 nauplius Artemia per liter air laut (± dari 1,5 gram cyst Artemia) dengan pemberian emuisi antara 0,5 - 1,0 gram. Lama bioenkapsulasi adalah antara 12 - 24 jam.


B.  TEKNIK PEMBUATAN PAKAN UNTUK PEMBESARAN DI TAMBAK

Pakan untuk udang pada dasamya dapat dibagi menjadi beberapa bentuk dan ukuran. Bentuk dan ukuran ini disesuaikan dengan ukuran udang yang sedang dikultur. Adapun bentuk dan ukuran pakan untuk pemeliharaan udang dapat dibagi menjadi 6 tipe yaitu :

Powder (serbuk)            : ukurannya lebih kecil dari 20 mikron, diberikan pada udang stadium larva

Flake (serpihan)             : ukuran Ø lebih kecil dari 0,5 mm, diberikan pada udang PL 1 - PL 15
Crumble (remahan)        : ukuran Ø 1 mm, diberikan pada udang PL 20 - 1 gram
Pellet                            : ukuran Ø 1 - 1,5 mm, untuk udang ukuran 1 - 5 gram
Pellet                            : ukuran Ø 1,5 - 3,5 mm, untuk udang ukuran 5 - 10 gram
Pellet                            : ukuran Ø 3,5 - 3,0 mm, untuk udang ukuran 10 gram.
Bahan baku pakan untuk pembesaran udang di tambak dapat berasal dari bermacam-macam sumber asal bahan. Berikut ini disajikan beberapa contoh bahan baku pakan untuk udang dan kandungan nutrisinya.

TABEL 7.  BEBERAPA CONTOH BAHAN BAKU PAKAN UNTUK UDANG DAN KANDUNGAN NUTRISINYA

Jenis Bahan
Protein
(%)
Lemak
(%)
BETN
(%)
Serat kasar
(%)
Air
(%)
Abu
(%)
-    Tepung kelapa udang
-    Tepung daging ikan mujair
-    Ikan petek kering
-    Ikan teri kering
-    Ikan tongkol kering
-    Tepung kepiting
-    Tepung cumi
-    Tepung tahu basah
-    Tepung ikan kembung
-    Rebon basah
-    Tepung kedelai
-    Tepung menir
-    Tepung jagung
-    Tepung ikan import
-    Bekatul
-    Kanji
-    Tepung sagu
-    Tepung ketan
43,95
55,6
60,0
63,76
55,72
53,62
62,21
2,46
40,63
13,17
43,99
8,64
7,63
59,85
10,86
0,41
7,25
8,21
5,11
11,2
15,12
3,70
4,11
3,66
-
2,62
5,25
1,52
2,41
1,92
4,43
4,28
11,19
0,54
0,55
2,13
0,26
7,36
2,08
4,10
6,62
5,67
-
3,86
1,26
1,67
32,35
82,52
72,71
1,39
34,73
73,24
66,21
83,12
17,45
tt
tt
tt
tt
7,48
-
1,50
tt
tt
3,31
2,51
1,52
tt
10,73
13,16
11,24
2,26
6,53
6,34
9,60
10,28
4,95
6,75
-
88,36
20,90
80,0
11,22
2,65
11,01
9,61
12,47
12,60
8,49
1,32
26,7
19,5
13,2
18,28
28,6
11,83
-
1,20
31,96
3,64
6,73
2,76
2,70
24,87
-
1,55
1,53
2,96
Sumber: Laboratorium Kimia BBAP Jepara (1986)

Adapun formulasi untuk pakan udang yang dapat dipergunakan dalam pembuatan pakan udang skala kecil adalah sebagai berikut :

Formula A :                                                      Kandungan nutrisi :
-         Dedak                          22 %                 Protein              35,65 %
-         Tapioka                        21 %                 Lemak              7,67 %
-         Tepung ikan                              31 %                 BETN                41,48 %
-         Tepung kedelai              25 %                 Serat kasar          
-         Vitamin C                      50 mg               Air                    9,36 %
-         Vitamin B1                     15 mg               Abu                  5, 84 %
-         Vitamin B6                     10 mg
-         Aquamix                       425 mg

Formula B :                                                      Kandungan Nutrisi :
-         Tepung ikan                  26 %                 Protein              33,42 %
-         Tepung kelapa udang    10 %                 Lemak              6,35 %
-         Tepung kedelai              15 %                 BETN                32,95 %
-         Tepung jagung              15 %                 Serat kasar       8,64 %
-         Kanji                             15 %                 Abu                  12,43 %
-         Bekatui                         13 %                 Air                    6,21 %
-         Top mix                                    2 %
-         Minyak ikan                   2 %
-         De calphosphat             2 %

Formula C :                                                      Kandungan nutrisi :
-         Tepung ikan                  40 %                 Protein              36,27 %
-         Tepung rebon                8 %                  Lemak              5,21 %
-         Tepung kedelai              10 %                 BETN                39,43 %
-         Tepung jagung              20 %                 Serat kasar       0,43 %
-         Tepung sagu                 16 %                 Abu                  14,42 %
-         Top mix                                    2 %                  Air                    4,24 %
-         Minyak ikan                   2 %
-         De calphosphat             2 %

Formula D :                                                      Kandungan nutrisi :
-         Tepung ikan                  31 %                 Protein              34,21 %
-         Tepung cumi                 5 %                  Lemak              5,43 %
-         Tepung kedelai              15 %                 BETN                35,44 %
-         Tepung jagung              15 %                 Serat kasar       6,42 %
-         Tepung ketan                18 %                 Abu                  13,07 %
-         Bekatui                         10 %                 Air                    5,43 %
-         Top mix                                    2 %
-         Minyak ikan                   2 %
-         De calphosphat             2 %
1.  Pembuatan pakan udang skala kecil
Pada prinsipnya cara pembuatan pakan untuk pembesaran udang di tambak dibagi menjadi beberapa tahap yang meliputi: penggilingan dan penghancuran bahan-bahan, pengayakan, penimbangan, pencampuran, pencetakan dan pengeringan.

a.  Penggilingan dan penghancuran
Penggilingan dan penghancuran mempakan langkah awal pada proses pembuatan pakan untuk udang, menjadi bahan dengan ukuran kecil. Untuk itu dapat digunakan berbagai macam alat, mulai dari yang sederhana sampai yang modem, sesuai dengan biaya yang tersedia. Beberapa alat yang dapat digunakan misalnya: alat penumbuk padi, gilingan kopi, serta mesin giling yang digerakkan dengan tenaga listrik (grinder) seperti pada gambar 12.
Gambar 12. Alat untuk menggiling bahan baku dengan partikel besar (grinder)
Gambar 13. Alat untuk menghaluskan bahan sampai ukuran 100 mikron (Mikro pulverizer)
Gambar 14. Mesin pengayak bahan baku bahan
b.  Pengayakan
Proses pembuatan pakan berikutnya yaitu pengayakan. Ukuran ayakan yang diperlukan disesuaikan dengan kebutuhan untuk stadia udang. Semakin kecil stadia udang, semakin halus partikel bahan baku yang akan dibuat pakan. Untuk itu dapat diatur dengan mengatur ukuran mata ayakan yang diperlukan.

c.  Penimbangan
Penimbangan diperlukan setelah diketahui jumlah bahan baku vans diperlukan. Untuk bahan baku dalam jumlah besar digunakan timbangan kodok, sedangkan untuk bahan baku dalam jumlah kecil, misalnya untuk vitamin dan mineral, digunakan timbangan halus agar lebih teliti.

d.  Pencampuran
Agar didapat bahan baku yang homogen dalam pakan, maka tahap pencampuran harus dilakukan sebaik mungkin. Secara sederhana pencampuran dapat dilakukan dengan tangan, sedangkan dalam jumlah besar dapat digunakan alat pencampur (mixer) yang menggunakan energi listrik seperti pada gambar 15.

e.  Pencetakan
Setelah bahan baku pakan dicampur, maka tahap pencetakan mulai dilakukan sesuai dengan kebutuhan bentuk dan ukuran pakan untuk stadium udang. Pencetakan pakan bentuk pellet dapat menggunakan alat sederhana, misalnya gilingan daging. Dalam pembuatan pellet dengan gilingan daging, bahan baku harus dicampur dengan air secukupnya, sehingga terbentuk adonan. Selanjutnya dikukus beberapa saat agar bahan perekat dapat mengikat bahan baku
Gambar 15. Alat pengaduk makanan (mixer) kapasitas 10 kg

yang lain atau dapatjuga dengan mencampurkan bahan yang kering dengan perekat (binder) yang telah dijadikan bubur.
Pembuatan pellet yang lain dapat menggunakan mesin pellet (CPM Pellet mill). Bahan baku yang digunakan semuanya harus dalam bentuk kering. Bentuk ini dapat dijadikan bentuk crumble dengan menggunakan alat mesin crumble. Untuk membuat pakan dalam bentuk powder, dapat digunakan lagi mesin penghalus (micropulvirizer). Sedangkan untuk membuat pakan berbentuk flake dapat digunakan Electrosteam double drum dryer.

f.  Pengeringan pakan
Pengeringan pakan diperlukan untuk pakan yang masih mempunyai kadar air relatiftinggi. Pengeringan ini dapat dengan sinar matahari langsung atau dengan menggunakan oven.

2.  Pembuatan Pakan Udang di Pabrik
Pada proses pembuatan pakan untuk pembesaran di tambak, dikenal beberapajenis bentuk komersial, yaitu DI sampai D6 yang dipergunakan untuk pasca larva hingga udang dewasa.
Gambar 16.  Meisn crumble

Gambar 17.  Mesin pellet (CPM Pellet Mill) kapasitas 50 kg/jam

Adapun jenis pakan yang diberikan tersebut adalah sebagai berikut :
v  D1 diberikan mulai penebaran awal sampai 7 hari pemeliharaan
v  D2 diberikan mulai hari ke-7 sampai hari ke-14
v  D3 diberikan mulai hari ke-14 sampai hari ke-28
v  D4 diberikan mulai hari ke-28 sampai hari ke-58
v  D5 diberikan mulai hari ke-58 sampai hari ke-88
v  D6 diberikan mulai hari ke-88 sampai panen.
Pada prinsipnya proses pembuatan pakan tersebut harus menggunakan alat spesifik yang biasa digunakan di pabrik-pabrik yang memproduksi secara komersial. Flow chart teknik pembuatannya adalah sebagai berikut :
Gambar 18.  Flow Chart Teknik Pembuatan pakan di pabrik

Gambar 19.  Bentuk pakan buatan pabrik

Prinsip kerja pembuatan pakan di pabrik :
Dari tempat penampungan bak (1) dan (2), bahan baku yang masih kasar melalui screw conveyor dan bucket elevator masuk ke dalam mixer (3), kemudian masuk ke mesin penghancur (4). Dengan perantaraan fan (7), maka bahan baku siap digiling, kemudian dihisap dan masuk pada mesin separator (5). Dari tempat ini, serbuk yang sudah digiling akan terpisah menjadi bagian yang lebih halus dan agak kasar. Pada bagian filter (6) sudah siap menampung bagian yang sudah halus dan kasar kembali ke mixer (3). Dari bagian filter, serbuk yang sudah tertahan, dengan alat filter akan terhisap oleh fan (7) dan dikompresikan sehingga dapat masuk ke Mix Bin (8). Dalam proses operasionalnya, sekitar 50% dari jumlah bahan baku yang masih kasar akan melalui proses penghancuran hingga menjadi tepung dan masuk ke dalam Mix Bin (8) dengan perantaraan screw conveyor dan bucket elevator. Setelah proses penghancuran selesai, dari fempat penampungan (1) dan (2) akan masuk ke Mix Bin (8), kemudian di turunkan ke mixer (9). Mesin mixer (9) ini mengaduk tepung dan
Gambar 20.  proses pembuatan pakan di pabrik

Serbuk yang sudah digiling halus. Setelah campuran adukan merata, kemudian diberi air dan minyak sesuai dengan kadar yang dikehendaki setelah diketahui presentase kadar airnya, dengan perantaraan crew conveyor dan bucket elevator serbuk tersebut dimasukkan kedalam pellet Bin (10). Serbuk pellet yang terdapat pada penampungan akan ditarik dan masuk ke dalam tabung silinder pemanas (11). Setelah diketahui derajat suhu yang dikehendaki, maka serbuk, tersebut dimasukkan ke dalam mesin pellet 12. Pada alat tersebut akan terbentuk butiran-butiran pellet yang ukurannya disesuaikan dengan jenis yang dikehendaki (Dl sampai D6). Butiran pellet dimasukkan ke dalam mesin pemanas (post conditioner). Melalui proses tersebut butiran pellet akan turun ke tempat penampungan dan didinginkan dengan perantaraan fan (14), kemudian masuk ke tempat ayakan pemisah (15) dan akan turun ke tempat penampungan akhir (A) dan (B) yang sudah siap untuk dipacking. Tempat penampungan tersebut merupakan tempat produk jenis pakan D4, D5 dan D6. Sedangkan untuk jenis D 1, D2 dan D3 yang mempunyai butiran lebih halus akan diayak kembali melalui (15) dan diturunkan ke storage Bin (16), setelah itu diturunkan lagi ke mesin pemecah butiran (crumble) (17), lalu masuk ke tempat ayakan (granding sieve) (18) yang akhirnya masuk ke tempat bagian penampungan masing-masing yaitu (C), (D) dan (E).
































BAB VI
ANALISIS PAKAN

Ada beberapa aspek yang dapat digunakan untuk analisis pakan udang, yaitu : secara Kimia, Fisika dan Biologi.

A.  ANALISIS KIMIA
1.  Analisis Karbohidrat
Analisis karbohidrat dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, yaitu berdasarkan sifat-sifat sakarida dan reaksi kimia yang spesifik.

a.  Analisis Kualitatif
Karbohidrat biladireaksikan denganlarutan naftol dalam alkohol, kemudian ditambahkan H2SO4 pekat secara hati-hati, pada batas cairannya akan terbentuk furfural berwama ungu. Reaksi ini dikenal dengan reaksi Molisch yang merupakan reaksi umum dari karbohidrat.
Beberapa cara yang lain untuk analisis karbohidrat adalah dengan berbagai macam pengujian, seperti :

-         Uji Antron
0,2 ml larutan contoh di dalam tabung reaksi ditambahkan larutan antron (0,2 % dalam H2SO4 pekat). Timbulnya wama hijau atau hijau kebiru-biruan menandakan adanya karbohidrat dalam larutan contoh. Uji ini sangat sensitif sehingga dapat memberikan hasil positifjika dilakukan pada kertas saring yang mengandung selulosa. Uji ini dikembangkan untuk uji kuantitatif secara colorimetric bagi glkogen, inulin dan gula dalam darah.

-         Uji Bartoed
Pereaksinya terdiri dari Cupri asetat dan asam asetat. Ke dalam 5 ml pereaksi dalam tabung reaksi ditambahkan 1 ml contoh kemudian tabung reaksi ditempatkan dalam air mendidih selama 1 menit Endapan berwarna merah oranye menunjukkan adanya monosakharida dalam contoh.

-         Benedict
Pereaksinya terdiri atas Cuprisulfat, natrium sitrat dan natrium karbonat. Ke dalam 5 ml pereaksi dalam tabung reaksi ditambahkan 8 tetes larutan contoh, kemudian tabung reaksi ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Timbulnya endapan wama hijau kuning atau merah oranye menunjukkan adanya gula pereduksi dalam contoh.


-         Uji Orsinol Bial – HCl
Ke dalam 5 ml pereaksi ditambahkan 2 - 3 ml larutan contoh kemudian dipanaskan sampai timbul gelembung-gelembung gas ke permukaan larutan. Timbulnya endapan dan larutan berwarna hijau menandakan adanya pentosa dalam contoh.

-         Uji Hayati
Pereaksinya terdiri dari garam Rochelle atau kalium natrium tartrat, gliserol dan cuprisulfat. Uji dan tanda-tanda dilakukan sama seperti uji benedict.

-         Uji lodium
Larutan contoh diasamkan dengan HCl. Sementara itu dibuat larutan lodium dalam larutan KI. Larutan contoh sebanyak 1 tetes ditambahkan ke dalam larutan lodium. Timbulnya wama biru menunjukkan adanya pati dalam contoh. sedangkan wama merah menunjukkan adanya glikogen atau eritrodekstrin.

-         Uji Seliwanoff
Pereaksi dibuat sebelum uji dimulai, dengan mencarnryrkan 3,5 ml resorsinol 0,5 % dengan 12 ml HCl pekat, kemudian diericerkan. Menjadi 35 ml dengan air suling uji, dilakukan dengan menambahkan 1 ml larutan contoh ke dalam 5 ml pereaksi. Kemudian ditempatkan dalam air mendidih selama 10 menit. Wama merah cherry menunjukkan adanya fruktosa dalam contoh.

-         Uji Tauber
Sebanyak dua tetes larutan contoh, ditambahkan ke dalam 1 ml larutan benzidina, didihkan dan dinginkan cepat-cepat. Timbulnya warna ungu menunjukkan adanya pentosa dalam contoh.

b.  Analisis Kuantitatif
Analisis ini menggunakan polarimeter, yaitu dengan memasukkan larutan gula ke dalam tabung polariskop yang tertentu panjangnya, kemudian dilihat sudut putarannya. Hal ini dilakukan karena karbohidrat mempunyai sifat dapat memutarbidang cahaya terpolarisasi ke kanan (+) dan ke kin (-) dan setiap gula mempunyaisudut putaran khas yang berbeda-beda. Misalnya sukrosa + 66,6 % dan glukosa + 90 %. Sifat inilah yang digunakan untuk analisis kuantitatif.

2.  Analisis Protein    
a.  Analisis Kuantitatif
-         Cara Kjeldahl
Cara ini digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan pakan secara tidak langsung, yaitu mengalikan hasil analisis dengan angka konversi 6,25 akan diperoleh nilai protein dalam bahan pakan. Angka 6,25 berasal dari konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16 % nitrogen. Prinsip cara analisis Kjeldahl adalah sebagai berikut: mula-mula bahan didektrusi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium oksikhlorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Cara Kjeldahl umumnya dapat dibedakan atas dua cara yaitu cara makro dan semi makro. Cara makro Kjeldahl digunakan untuk contoh yang sukar dihomogenisasi dan besar contoh 1 - 3 gr, sedangkan semi makro Kjeldahl dirancang untuk contoh ukuran kecil yaitu kurang dari 300 mg dari bahan yang homogen. Cara analisis tersebut akan berhasil baik dengan asumsi nitrogen dalam bentuk ikatan N - N dan N - O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah yang besar.

-         Cara Dumas
Prinsip cara ini ialah bahan pakan contoh dibakar dalam atmosfir CO2, dan dalam lingkungan yang mengandung cupri oksida. Semua atom karbon dan hidrogen akan diubah menjadi CO2 dan uap air, semua gas dialirkan ke dalam larutan NaOH dan dilakukan pengeringan gas. Semua gas terabsorpsi kecuali gas nitrogen, gas ini kemudian dianalisis dan diukur.

b.  Analisis Kualitatif
Analisis ini dapat dilakukan secara biologis maupun kimia.

-         Cara biologis :
Dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan. Beberapa pengujian yang biasa dikerjakan dengan menggunakan cara ini yaitu :
-                     PER (Protein Efficiency Ratio)
-                     NPU (Net Protein Utilization)
-                     N Dp Cal (Net Dietary Protein Calories)

Nilai Biologis :
Nilai biologis merupakan harga atau jumlah fraksi nitrogen yang masuk ke dalam tubuh dan dimanfaatkan dalam proses pertumbuhan.

Daya Cerna :
Daya cerna adalah jumlah fraksi nitrogen dari bahan pakan yang dapat diserap untuk pertumbuhan.
Keseimbangan Nitrogen :
Adalah suatu analisis yang sering dilakukan untuk mengetahui keseimbangan nitrogen yang masuk dan nitrogen yang keluar dari tubuh.

Skor Asam Amino (Amino Acid Score) :
Mutu protein dapat diukur dengan menentukan jumlah asam amino pembatas dan membandingkannya dengan asam amino sejenis. Beberapa cara yang bisa dilakukan yaitu :
-         Cara kromatografi kolom
-         Cara HPLC (High Performance Liquid Chromatography)
-         Cara Mikrobiologis
-         Cara Spektrofotometrik
-         Cara Kromatografi pertukaran ion
-         Cara Kromatografi gas-cairan
-         Cara Kromatografi lapisan tipis (TLC)

3.  Analisis Lemak
Beberapa uji kimia telah dilakukan untuk mengidentifikasikan lemak, yaitu dengan mengadakan beberapa uji sekaligus dengan cara :

a.  Bilangan Reichert Meisel (BRM)
BRM adalah jumlah 0,1 N basayang diperlukan setiap lima gram lemak untuk menetralkan asam-asam lemak yang mudah menguap pada destilasi, yaitu Asam lemak C4 dan C6 (Butirat dan kaproat).

b.  Bilangan Polenske
Bilangan ini menentukan kadar asam lemak yang volatil tetapi tidak larut dalam air, yaitu asam lemak C8 sampai dengan C14. Prosedurnya seperti pada contoh di bawah ini :

c.  Bilangan Kirschner Baru (New Kirshner Value = NKV)
BKB (NKV) adalahjumlah ml basa 0,1 N yang diperlukan setiap lima gram lemak/minyak untuk menetralkan asam lemak volatil yang garam-garam peraknya lamt dalam campuran etanol air.

d.  Bilangan Penyabunan (BP)
BP adalahjumlah mg KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram lemak. Untuk menetralkan 1 molekul gliserida diperlukan 3 molekul alkali.


e.  Bilangan Hehner
Bilangan Hehner digunakan untuk menentukan jumlah asam lemak yang tidak larut dalam air. Lemak dengan BM yang tinggi akan mempunyai bilangan Hehner yang rendah.

f.  Bilangan lodin
Bilangan lodin ialah gram iodin yang diserap oleh 100 gram lemak. I2 akan mengadisi ikatan rangkap asam lemak tidak jenuh bebas maupun yang dalam bentuk ester. Bilangan lodin tergantung pada jumlah asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Lemak dilarutkan dalam Khioroform (C Cl4) kemudian ditambah larutan iodin (0,1 - 0,5 gr). Sisa iodin yang tidak bereaksi dititrasi dengan tiosulfat.
I2 + 2NaS203  ————> 2Na I + Na S4 O6

4.  Penentuan Kadar Air
Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105 - 110°C selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Untuk bahan yang tidak tahan panas pemanasan dilakukan dalam oven vakum dengan suhu yang lebih rendah. Kadang-kadang pengeringan dilakukan tanpa pemanasan, bahan dimasukkan dalam eksikator dengan H4 SO2 pekat sebagai pengering hingga mencapai berat yang konstan. Penentuan kadar air dari bahan-bahan yang kadar aimya tinggi dan mengandung senyawa yang mudah menguap (volatile) menggunakan cara destilasi dengan pelarut tertentu misalnya toluen xylol dan Heptara yang BD-nya lebih rendah daripada air. Contoh (sampel) dimasukkan dalam tabung bola (flask) kemudian dipanaskan. Air dan pelarut menguap, diembunkan dan jatuh pada tabung aufhauser yang berskala. Air yang mempunyai BD lebih besar ada di bagian bawah, sehingga jumlah air yang diuapkan dapat terlihat pada skala tabung aufhauser tersebut. Untuk bahan dengan kadar gula tinggi dapat diukur dengan menggunakan refraktometer. Di samping cara fisik, ada juga cara kimia untuk menentukan kadar air. Me Nail mengukur kadar air berdasarkan volume gas asetilen yang dihasilkan dari reaksi kalsium karbida dengan bahan yang akan diperiksa.

B.  ANALISIS FISIKA
Water stability Feed yaitu stabilitas pakan dalam air yang merupakan faktor penting dalam menentukan efisiensi pakan. Pakan yang tahan dalam air yang hanya mengalami sedikit perubahan kualitas dan kuantitas adalah pakan yang mempunyai persyaratan fisik yang cukup baik. Untuk mencapai keadaan ini dianjurkan agar pakan udang secara fisik masih tetap utuh kira-kira selama tigajam berada dalam air.
Cara untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut :
  1. Sebelum pakan direndam dalam air terlebih dahulu dilakukan analisis kimia.
  2. Perendaman dilakukan di dalam wadah dengan volume dan kedalaman minimal 0,5 m3 dan 0,6 m.
  3. Air digerakkan dengan aerator yang kuat, sehingga menimbulkan gelombang dan amplitude minimal 5. Cm.
  4. Pakan diletakkan di dasar wadah yang mempunyai dasar merata.
  5. Setelah direndam 3 - 6 jam, kembali dilakukan analisis kimia.
Pada dasarnya semakin halus bahan baku yang digunakan untuk menyusun pakan, bentuk fisiknya akan semakin baik pula, karena akan tercampur lebih baik sehingga menghasilkan produk yang lebih kompak dan stabil di dalam air, sehingga relatif lebih mudah dicerna.

C.  ANALISIS BIOLOGI
Suatu nilai dalam aspek biologi yang paling penting adalah Nilai onversi Pakan (Feed Conversion Ratio). Nilai ini sebenamya tidak merupakan suatu angka mutlak, karena tidak hanya ditentukan oleh kualitas pakan, akan tetapi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti jenis dan ukuran udang, jumlah padat tebar, kualitas air dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan dalam Bab VII. Semakin kecil nilai konversi pakan, semakin baik kualitas pakan, karena akan semakin ekonomis. Untuk mengetahui nilai konversi pakan udang perlu dilakukan pengujian di lapangan pada berbagai tipe percobaan.
















BAB VII
CARA, JADWAL DAN JUMLAH
PEMBERIAN PAKAN

A.  CARA PEMBERIAN PAKAN
Syarat yang mutlak untuk terpenuhinya pemberian pakan yang baik adalah merata, dalam arti dapat diusahakan agar satu individu udang memperoleh bagian pakan yang sama dengan individu lainnya, sehingga diharapkan dengan pemberian pakan merata, pertumbuhannya akan seragam. Dengan adanya seleksi alam, sejalan dengan lamanya waktu pemeliharaan, udang yang lemah akan mengalami kematian dan udang yang memiliki daya tahan standar akan mampu "Survive" dan tumbuh dengan baik.
Cara pemberian pakan yang merata dapat menghindari terjadinya kompetisi dalam mendapatkan makanan. Apabila kompetisi dapat dihindari, maka sifat kanibalisme akan semakin dapat dikendalikan. Keadaan kompetitif dan kanibalisme akan semakin tajam dan menyolok apabila ukuran udang sangat bervariasi. Udang yang besar mempunyai kemampuan dan ukuran mulut yang lebih besar daripada udang kecil, sehingga udang besar memperoleh makanan lebih banyak dan tumbuh lebih pesat, sebaliknya udang kecil semakin terhambat pertumbuhannya karena kurang mendapatkan pakan.

B.  JADWAL PEMBERIAN PAKAN
Jadwal pemberian pakan pun menentukan keberhasilan usaha budidaya udang. Seperti pada organisme lainnya, udang juga mempunyai tingkah laku dan kebiasaan makan tersendiri. Dari pengalaman diketahui bahwa udans merupakan hewan vane aktif makan nada malam hari, oleh karena itu persentase pemberian pakan pada malam hari lebih besar daripada siang hari (pada saat intensitas matahari maksimum). Pemberian pakan pada saat intensitas matahari minimum adalah sejumlah 60 % dari total pakan selama 24 jam. Dengan demikian efisiensi pakan yang diberikan diharapkan akan lebih terjamin. Waktu pemberian pakan udang muda dan dewasajuga berbeda. Udang dewasa mempunyai metabolik rate dan kecepatan makan yang lebih daripada udang muda. Pakan yang diberikan hendaknya dalam jumlah yang cukup. Jumlah pakan yang diperlukan bagi pertumbuhan optimal berbeda untuk setiap stadia perkembangan udang. Oleh karena itu diharapkan dengan bekal pakan yang cukup kualitas dan kuantitasnya, udang akan mampu bertahan hidup sampai saat panen. Pemberian pakan diatur dan disesuaikan dengan target produksi yang akan dicapai. Sebaliknya, jika pakan yang diberikan berlebihan, di samping tidak efektif, juga sisa pakan tersebut akan merusak kondisi lingkungan.


C.  JUMLAH PEMBERIAN PAKAN
Pengaturan jumlah pemberian pakan selama pemeliharaan dihitung berdasarkan hasil sampling. Untuk mempermudah penghitungannya, maka jumlah pakan yang diberikan mengikuti ketentuan sebagai berikut :
  1. Udang stadia zoea, yaitu dengan jumlah 1,5 ppm pakan buatan + plankton.
  2. Udang stadia mysis, yaitu dengan jumlah 1 ppm pakan buatan.
  3. Udang stadia pasca larva, yaitu dengan jumlah 1 ppm pakan buatan + nauplii Artemia.
  4. Udang ukuran PL 20 - 5 gram, yaitu dengan jumlah 25 % - 50 % dari berat total tubuh per hari.
  5. Udang ukuran 6 - 10 gram, yaitu dengan jumlah 15 % - 25 % dari berat total tubuh per hari.
  6. Udang ukuran 11 - 15 gram, yaitu dengan jumlah 8 % - 15 % dari berat total tubuh per hari.
  7. Udang dengan berat 20-30 gram, yaitu dengan jumlah 4 % - 8 % dari berat total tubuh per hari.
Selain ketepatan pada jumlah pakan yang diberikan, frekuensi pemberiannya juga memegang peranan penting dalam efektivitas penggunaan pakan. Semua ini tentunya harus disesuaikan dengan sifat biologis udang yang dipelihara. Estimasi sampling jumlah dan berat udang juga memegang peranan sangat penting, karena dapat menentukan kuantitas pakan yang harus diberikan.
Dalam kaitan dengan teknolegi budidaya udang semi intensif dan intensif di tambak, program pemberian pakannya dapat dibuat seperti tabel 8.
Makanan merupakan bagian terbesar dari biaya produksi dan diduga juga merupakan faktor penentu dalam nilai ekonomi dari budidaya udang. Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh para petani tambak adalah Feed Conversion Ratio (FCR). FCR adalah nilai berapa kg makanan yang diberikan ke dalam tambak dapat menghasilkan 1 kg dari udang yang dipelihara di tambak tersebut. Nilai FCR selain dipengaruhi olehjenis udang yang dipelihara di tambak dan kualitas makanan, juga dipengaruhi oleh program pemberian makanan dan managemen lingkungan tambak. Petani tambak harus berhati-hati terhadap nilai FCR ini, karena dengan memperbaiki nilai FCR selain biaya produksi dapat ditekan, FCR juga berhubungan dengan kecepatan pertumbuhan dan kondisi dasar tambak. Nilai FCR yang buruk identik dengan pertumbuhan udang yang buruk, udang yang mengalami stres dan kondisi dasar tambak yang kotor (Thamassart, 1991).


PERTUMBUHAN UDANG
(normal)


Beberapa faktor yang dapat mempengamhi nilai FCR adalah sebagai berikut :

1.  Kualitas Larva Udang
Sarhpai saat ini masih belum ada teknologi yang benar-benar tepat untuk melihat standarisasi kualitas larva yang berkualitas prima. Pengamatan secara fisik belum dapat memberikan jaminan kualitas larva yang baik. Larva udang yang dihasilkan dari penetasan dengan perlakuan suhu yang tinggi serta penggunaan obat obatan tampaknya sehat, namun setelah benur ditebar di tambak ternyata kematian sering terjadi. Larva yang selama pemeliharaannya terlalu banyak mendapatkan obat-obatan, beberapa organnya dapat menjadi rusak, sehingga penggunaan pakan menjadi tidak efisien. Dengan demikian agar pakan dapat diserap dengan baik dan efisien, larva yang kita tebar harus benar-benar mempunyai kualitas yang baik.

2.  Kualitas Makanan
Kualitas makanan memegang peranan yang penting dalam usaha memperbaiki nilai FCR. Begitu banyak produsen pakan udang dengan merk yang beraneka ragam yang tidak kita ketahui kualitasnya secara tepat. Produsen pakan udang harus menggunakan laboratorium pengujian mutu hasil pakannya untuk menguji semua bahan mentah yang digunakan, sehingga pakan yang dihasilkan adalah pakan dengan kualitas superior yang dapat membantu petani untuk mendapatkan nilai FCR yang baik. Petani sebaiknya juga memutuskan dengan tepat jenis pakan yang akan digunakan, yang telah diuji coba dengan hasil yang baik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para petani tambak dalam pemilihan pakan udang dengan kualitas yang baik adalah :
  1. Produk berasal dari perusahaan yang baik yang mempunyai dukungan penelitian dan pengembangan yang kuat.
  2. Pakan yang digunakan telah diuji coba sendiri oleh petani dengan hasil FCR yang baik, pertumbuhan yang baik dan hasil panen yang konstan.
  3. Mempunyai daya tarik dan bau yang menarik bagi udang.
  4. Mempunyai kestabilan yang baik dalam air.
  5. Pakan dalam kemasan yang baik.
Kualitas makanan mudah rusak apabila tidak ditempatkan secara benar, serangga dan tikus pun dapat menjadi penyebab hilangnya sebagian makanan. Di bawah ini beberapa petunjuk untuk menyimpan makanan yang baik untuk menjaga kualitas makanan :
-         Makanan harus disimpan pada tempat yang kering dan pada area yang cukup ventilasinya. Apabila ruangan basah, makanan akan cepat busuk. Tempat penyimpanan sebaiknya dingin, perlu ventilasi yang cukup untuk menjaga suhu dalam zat pakan.
-         Makanan disusun ke atas dan dibatasi kayu pemisah dengan jumlah tidak lebih dari 5 zak, agar terjadi sirkulasi udara yang cukup di antara zak-zak makanan sehingga kelembaban dan suhu dalam keadaan normal.
-         Makanan tidak boleh diletakkan langsung di lantai atau menempel dinding ruangan. Permukaan tembok biasanya lebih dingin daripada sekitarnya. Oleh karena itu bagian dari zak makanan yang bersinggungan langsung dengan lantai akan menjadi lembab, sehingga mengundang jamur untuk tumbuh subur.
-         Makanan tidak boleh disimpan pada tempat yang terkena langsung sinar matahari, karena akan mengakibatkan perubahan suhu dalam makanan. Sinar matahari juga mempengaruhi kualitas kandungan vitamin dan lemak dalam makanan.
-         Makanan tidak boleh disimpan lebih dari 3 bulan sejak dari proses pembuatannya. Kualitas vitamin dan lemak akan rusak dalam penyimpanan yang terlalu lama. Idealnya, makanan dibeli, dikirim dan diberikan ke udang atau melalui pengaturan pembelian setiap bulan.
-         Makanan yang busuk atau sudah terlalu lama, tidak boleh digunakan kembali. Kerugian dari akibat pemberian makanan yang busuk lebih besar daripada pembuangan makanan tersebut. Pemberian label pada zak pakan mengenai kandungan nutrisinya akan memudahkan petani tambak untuk membandingkan nilai nutrisi dengan makanan lain. Pemberian label nutrisi pada pakan biasanya dengan kriteria kandungan protein minimum, lemak minimum, serat kasar maksimum, abu maksimum, kalsium dan phospor. Makanan Udang merupakan bahan makanan yang mudah rusak sehingga sangat penting untuk mencantumkan tanggal pembuatan makanan.

3.  Pengaturan Pemberian Makanan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemberian pakan harus sesuai dengan biomass udang yang berada di dalam tambak. Walaupun demikian, keadaan kesehatan udang, umur dan keadaan lingkungan tambak juga mempunyai pengaruh langsung terhadap konsumsi pakan. Salah satu metode yang telah biasa digunakan oleh petani udang untuk melihatjumlah makanan yang dikonsumsi udang adalah dengan penggunaan ancho. Agar lebih jelas lagi mengenai metode pengangkatan ancho ini dapat dilihat pada Tabel 10.
Dengan hanya mengamati pertumbuhan udang, petani udang dapat mengatur pemberian pakan secara benar. Petunjuk mengenai pengaturan pemberian pakan berdasarkan berat badan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 10.  Jumlah Makanan Pada Ancho dan Waktu Kontrol

Berat badan udang
(gram)
Jumlah makanan pada
Ancho (% pakan)
Waktu terkontrol
(jam)
2 – 3
3 – 5
5 – 10
10 – 15
15 – 20
20 – 25
25 – 30
30 - 40
2,4
2,4
2,7
3,0
3,3
3,6
3,9
4,1
2,5
2,5
2,5
2,0
2,0 – 1,5
1,5
1,0
1,0
Tahmmasart, 1991

TABEL 11.  PERBANDINGAN PEMBERIAN MAKANAN BERDASARKAN BERAT BADAN

Berat bahan hidup
 (BBH)
(Gram) makanan
 (% BBH/hari)
2 – 3
3 – 5
5 – 10
10 – 15
15 – 20
20 – 25
25 – 30
30 – 35
35 – 40
8,0 – 7,0
7,0 – 5,5
5,5 – 4,5
4,5 – 3,8
3,8 – 3,2
3,2 – 2,9
2,9 – 2,5
2,5 – 2,3
2,3 – 2,1
Tahmmasart, 1991

Untuk mengetahui kenaikan pemberian pakan per hari, dapat dihitung dengan menggunakan rumus A dan B di bawah ini :

Rumus A :
ADG     =   BW 1 – BW 2
                        1
BW 1    = Rata-rata berat badan pada saat ini (gram)
BW 2    = Rata-rata berat badan pada waktu yang lalu (gram)
t           = Jarak waktu antara BW 1 dan BW 2 (hari)

Rumus B :
F1        =  ADG x BM x FR
                        100
Fl         = Kenaikan pemberian pakan pada hari itu (hari)
ADG     = Rata-rata kenaikan berat badan/hari (gram/hari)
BM       = Rata-rata berat badan (gram) x jumlah yang hidup
FR        = Feeding rate/perbandingan pemberian makan pada berat badan saat itu (%).

4.  Pengaturan Air dan Aerasi
Pengaturan air dan aerasi yang baik merupakan salah satu factor untuk memperbaiki nilai FCR. Kondisi tambak yang lingkungannya kurang baik, di mana pergantian air kurang baik, kondisi tambak yang buruk, oksigen terlarut yang rendah akan merupakan faktor penyebab stres yang cukup berat bagi udang. Udang haurs menggunakan energinya untuk mengatasi stres tersebut sehingga akibatnya pertumbuhan yang buruk dan FCR-nya juga buruk. Selain pengaturan air dan aerasi yang baik, untuk mendapatkan nilai FCR yang baik juga diperlukan pemilihan lokasi dan perencanaan lahan yang baik.

5.  Predator dan Kompetitor
Persiapan tambak yang kurang baik dapat mengakibatkan nilai FCR yang tinggi, karena pada lahan tambak yangjeiek akan banyak terdapat predator (hewan pemangsa) dan kompetitor (hewan pesaing). Petani tambak harus benar-benar mempersiapkan tambaknya dengan proses pengeringan yang sempurna, pemasangan saringan yang sesuai dengan baik sebelum pengisian tambak, dan bila perlu menghilangkan predator dan kompetitor sebelum penebaran dilakukan.













BAB VIII
KUALITAS AIR DAN HUBUNGANNYA
DENGAN PAKAN

Untuk mendapatkan hasil yarig maksimal dalam usaha budidaya udang, perlu diperhatikan kualitas air yang baik. Persyaratan yang layak bagi beberapa parameter kualitas air bagi budidaya udang adalah seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 12. Parameter kualitas air

Parameter
Nilai
Kelayakan
Kualitas fisika :
1.   Suhu
2.   Salinitas

Kualitas kimia :
1.   pH
2.   Oksigen (O)
3.   Alkalinitas
4.   Amoniak (NH)3
5.   Nitrit (NO)2
6.   Hidrogen sulfide
7.   Karbon dioksida

28 – 300C
15 – 25 permil


7 – 8,5
> 5 ppm ± 100 % jenuh
50 – 200 ppm CaCO3
0,1 ppm
0,6 ppm
0,1 ppm
1,5 ppm

Optimum
Optimum


Optimum
Optimum
Layak
Maksimum
Maksimum
Maksimum
Maksimum

A.  SUHU
Beberapa pengamat menemukan bahwa udang windu tidak dapat hidup pada suhu kurang dari 15°C atau lebih dari 40°C. Suhu optimal bagi udang windu adalah 28°C - 30°C. Selain pengaruh langsung yang mematikan, suhu juga secara tidak langsung mempengaruhi metabolisme, daya larut gas-gas, termasuk oksigen serta berbagai reaksi kimia dalam air. Semakin tinggi suhu air, semakin tinggi pula laju metabolisme udang yang berarti semakin besar konsumsi oksigennya, padahal kenaikan suhu tersebut bahkan mengurangi daya larut oksigen dalam air. Setiap kenaikan suhu 10°C, akan mempercepat laju reaksi kimia sebesar 2 kali. Sebagai contoh, reaksi keseimbangan amoniak : NH OH4 ——-> NH2 + H2 O, akan bergeser ke arah kanan yang menyebabkan persentase amoniak (NH) semakin besar. Perlu diketahui bahwa Amoniak lebih bersifat racun daripada Amonium (NH OH)4. Pada PH 8,0 dan suhu 25°C, persentase NH3 adalah 5,38 % sedangkan pada PH yang sama dengan suhu 30°C persentase NH3 menjadi 7,46 %.

B.  SALINITAS
Berdasarkan toleransinya terhadap salinitas, maka udang windu termasuk ke dalam golongan euryhaline laut, yaitu hewan laut yang mampu hidup pada air tawar. Di beberapa tempat, udang windu ditemukan masih mampu hidup pada salinitas 40 permil, namun terbukti mengalami pertumbuhan yang lambat. Nilai salinitas yang optimal bagi udang windu adalah 15 - 25 permil. Jika nilai salinitas terlalu tinggi, konversi rasio pakan akan tinggi sehingga untuk mengantisipasinya, volume penggantian air harus diperbesar.
Pada salinitas tinggi, hewan air termasuk udang windu dalam adaptasinya akan kehilangan air melalui difusi keluar badannya. Dalam kaitan ini, udang akan banyak minum air dan menghindari kelebihan garam dengan mekanisme tertentu. Keseluruhan mekanisme itu memerlukan energi ekstra, sehingga dapat menurunkan efisiensi pakan yang dikonsumsi. Dalam usahanya menghindari kelebihan garam di dalam tubuhnya, akan terjadi pengerasan eksoskeleton yang dapat mengakibatkan gagal ganti kulit. Satu-satunya cara untuk mengatasi salinitas yang terlalu tinggi adalah pengenceran dengan air tawar. Untuk mendapatkan nilai salinitas tertentu dapat dipakai rumus :
S  =      S1  V1 + S2 V2
      VI + V2
-         S  adalah salinitas yang dikehendaki (permil)
-         51 adalah salinitas tinggi air laut/tambak (permil)
-         52 adalah salinitas rendah air tawar (permil)
-         VI adalah volume air salinitas tinggi (m3)
-         V2 adalah volume air salinitas rendah (m3)

C.  DERAJAT KEASAMAN
pH air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen (dalam mol per liter) pada suhu tertentu, atau dapat ditulis :
pH = log (H)*
Air murni (H2O) berasosiasi sempuma sehingga memiliki ion H+ dan ion OH- dalam konsentrasi yang sama, dan dalam keadaan demikian pH air mumi = 7. Semakin tinggi konsentrasi ion H+ akan semakin rendah konsentrasi ion OH- dan pH < 7, perairan semacam ini bersifat asam. Hal sebaliknya terjadi jika konsentrasi ion OH- yang tinggi dan pH > 7, maka perairan bersifat basa (alkalis). Perairan umum, termasuk air laut dengan segala aktivitas fotosintesis dan respirasi organisme yang hidup di dalamnya membentuk reaksi berantai karbonat-karbonat sebagai berikut :
CO2 + H2O ——> H2CO3 ——> H+ + HCO3 ——> 2H- + CO32-
Semakin banyak CO2 yang dihasilkan dari hasil respirasi, reaksi bergerak ke kanan dan secara bertahap melepaskan ion H+ yang menyebabkan pH air turun. Reaksi sebaliknya terjadi dengan aktivitas fotosintesis yang membutuhkan banyak ion CO2, menyebabkan pH air naik.
Air laut, dengan-kandungan ion-ion Ca dan Mg yang cukup besar, dapat mencegah terjadinya fluktuasi pH yang besar. Ion-ion Calsium dan Magnesium akan membentuk garam-garam karbonat dan bikarbonat dan campuran asam-asam karbonat tersebut dengan garam-garam membentuk suatu sistem penyangga (buffer) yang kuat. Oleh karena itulah, biasanya pH air laut berada sedikit di atas normal dan jarang keluar dari batas pH 7 - 9. Keadaan ini sangat menguntungkan hewan-hewan di dalamnya termasuk udang, yang karena aktivitas respirasinya menghasilkan CO2 mengakibatkan pH di sekitar insang agak turun, sehingga perlu segera dinetralkan kembali. Nilai pH yang optimum bagi kehidupan udang berada pada kisaran 7 - 8,5. Walaupun demikian sering terjadi kapasitas buffer air laut tidak mampu menahan penurunan pH yang dipengaruhi oleh kedalaman tanah dasar tambak. Kasus ini banyak terjadi terutama pada tambak-tambak yang dibangun di areal lahan yang mengandung pyrite (FeS2). Pyrite yang terlepas ke udara akan teroksidasi dengan menghasilkan ion hidrogen yang cukup banyak, sehingga mampu menurunkan pH air hingga di bawah nilai 4. Peningkatan nilai pH sampai pada tingkat yang membahayakan sangat jarang terjadi di tambak. Kalaupun hal itu terjadi, dapat diatasi dengan pemupukan yang bereaksi asam, seperti pupuk belerang, pupuk sulfat yang dikombinasikan dengan pupuk organik. Jika terjadi kecenderungan peningkatan pH, sebaiknya dilakukan penggantian sebagian volume air tambak. Kasus penurunan pH lebih sering dijumpai terutama di tambak-tambak yang baru. Ada dua cara mengatasi rendahnya nilai pH yang disebabkan keasaman tanah dasar ini, yaitu dengan pengapuran dan dengan tindakan reklamasi.

D.  OKSIGEN TERLARUT
Dilihat dari jumlahnya, oksigen terlarut adalah satu jenis gas terlarut dalam air pada urutan kedua setelah Nitrogen. Namun jika dilihat kepentingannya bagi kehidupan ikan dan udang, Oksigen menempati urutan paling atas. Oksigen yang sangat diperlukan udang untuk pernafasannya harus dalam bentuk terlarut dalam air, karena udang tidak dapat memanfaatkan Oksigen langsung dari udara.
Sumber utama Oksigen dalam perairan adalah hasil difusi dari udara, terbawa melalui presipitasi (air hujan) dan hasil fotosintesis fitoplankton. Sebaliknya, kandungan Oksigen terlarut dalam air dapat berkurang karena dimanfaatkan oleh aktivitas respirasi dan perombakan bahan organik. Kekurangan Oksigen dapat pula dialami akibat terhalangnya difusi karena stratifikasi salinitas yang dapat terjadi setelah hujan lebat.
Besarnya kandungan Oksigen terlarut dalam air dapat dinyatakan dengan konsentrasi absolut (ppm) ataupun dengan konsentrasi relatifnya (persenjenuh). Konsentrasi jenuh adalah kandungan Oksigen terlamt dalam air pada saat fase air dan udara dalam keadaan seimbang. Nilai optimal kandungan Oksigen bagi kehidupan udang > 5 ppm sekitar 100 % jenuh.
Pada konsentrasi yang cukup besar, terjadi perbedaan tekanan parsial yang memungkinkan penetrasi oksigen ke pembuluh darah melalui lamela-lamela insang dan kemudian diikat dan dimanfaatkan oleh haemocyanin dalam pembuluh darah udang. Pada konsentrasi yang terlalu rendah, tekanan parsialnya tidak mampu untuk memungkinkan penetrasi oksigen, sehingga udang dapat mati lemas karena kesulitan bernafas. Gejalanya terlihat dengan berenangnya udang secara tidak beraturan di permukaan air. Konsentrasi yang berlebihan pun dapat mengakibatkan kematian dengan terjadinya emboli dalam pembuluh darah akibat terlalu banyaknya gelembung udara (gas bubble disease).
Konsentrasi lewat jenuh dapat terjadi pada tambak-tambak yang terlalu subur dan fitoplankton tumbuh terlalu padat. Keadaan ini dapat terjadi setelah tengah hari, yaitu melalui aktivitas fotosintesis fitoplankton banyak menghasilkan Oksigen dengan reaksi sebagai berikut :
Khlorophil
6 CO2 + 6H2 O ——————> C6H12O6 + 6O2
Ultra violet
(cahaya matahari)

Difusi Oksigen hanya terjadi dengan cepat pada lapisan permukaan air, sedangkan pada lapisan di bawahnya, justru di tempat hidup udang, difusi berjalan sangat lambat. Untuk membantu distribusi Oksigen ke lapisan bawah, diperlukan alat aerasi yang dapat berupa blower, kincir air (paddle wheel), aire O-two ataupun lainnya. Fungsi alat-alat aerasi tersebut selain dapat mempercepat difusi Oksigen dan distribusinya ke lapisan bawah, dapat juga membantu melepaskan Oksigen ke atmosfir pada keadaan yang lewat jenuh.

E.  AMONIAK
Sumber utama amoniak dalam air adalah hasil perombakan bahan organik, sedangkan sumber bahan organik terbesar dalam budidaya udang intensif adalah pakan. Sebagian besar pakan yang diberikan akan dimanfaatkan udang untuk pertumbuhannya, namun sebagian lagi akan dieksresikan dalam bentuk kotoran padat dan amoniak terlarut (NH2) dalam air. Kotoran padat pun selanjutnya akan mengalami perombakan menjadi NH2 dalam bentuk gas. Gas amoniak selanjutnya bereaksi sebagai berikut:
Udang    NH3 + H2O ————> NH4 OH ———> NH4+ + OH
Tidak terionisasi
(bersifat racun).
Metode analisis yang ada tidak dapat membedakan kedua bentuk amoniak tersebut, sehingga digabungkan menjadi amoniak total Besarnya fraksi NH3 dalam amoniak total bervariasi dengan pH suhu air, salinitas dan konsentrasi oksigen. Pengaruh pH sangat besar di sini, misalnya pada suhu 25°C, kenaikan pH dari 8,0 ke 9,0 meningkatkan jumlah fraksi NH, dari 5.38 % menjadi 36,3 %. Konsentrasi NH3 yang aman bagi udang adalah lebih kecil daripada 0,1 ppm.
Secara biologis, di alam sebenarnya dapat terjadi perombakan amoniak menjadi nitrat (NO3), suatu bentuk yang tidak berbahaya dalam proses nitrifikasi dengan bantuan bakteri nitrifikasi terutama nitrosomonas dan nitrobacter. Selain memerlukan bakteri tersebut dalam proses perombakan ini juga diperlukan jumlah oksigen yang cukup di dalam air. Proses perombakan yang tidak sempuma dapat mengakibatkan akumulasi ion nitrit (NO2) yang juga bersifat racun Dalam darah udang nitrit dapat mengoksidasi hemoglobin, sehingga hemoglobin menjadi tidak mampu berfungsi sebagai pembawa oksigen kejaringan tubuh. Dalam darah yang mengandung hemocyanin mekanisme mi mungkin pula terjadi.
Metode yang paling aman untuk menghindari pembentukan amoniak yang terlalu banyak di tambak adalah dengan melakukan persiapan tambak dengan baik. Dalam masa persiapan ini dilakukan pembuangan hasil akumulasi kotoran di dasar tambak dan pengeringan tanah dasar. Dalam masa pemeliharaan juga perlu dilakukan pembuangan sisa-sisa kotoran secara rutin serta tidak memberikan makanan secara berlebihan.

F.  HIDROGEN SULFIDA (H2S)
Hidrogen Sulfida merupakan gas beracun yang dapat larut dalam air, akumulasinya di tambak biasanya ditandai dengan endapan lumpur hitam berbau khas seperti telur busuk. Sumber utamanya adalah hasil dekomposisi sisa-sisa plankton, kotoran udang dan bahan organik lainnya. Dalam kondisi anaerobik, beberapa bakteri heterotrof mampu memanfaatkan senyawa-senyawa organik belerang maupun sulfat anorganik sebagai energinya, sehingga menghasilkan ion belerang (S2-). Ion-ion belerang selanjutnya membentuk reaksi disosiasi menghasilkan H2S yang bersifat racun.
S2- + 2H+ —————>H2S
Daya racun H2S tergantung suhu, pH dan oksigen terlarut. Pada nilai pH lebih dari 9, hampir seluruh asam belerang berdisosiasi menjadi ion-ion S2- dan H+ yang tidak beracun. Sebaliknya turun menjadi kurang dari 5, reaksi bergeser ke kanan dan sebagian besar asam belerang (H2S) tetap dalam bentuk yang beracun.
Konsentrasi aman asam belerang bagi udang adalah kurang dari 0,1 ppm. Meningkatnya kandungan asam belerang di tambak dapat dicegah dengan pembuangan sisa kotoran secara rutin, penggunaan aerasi yang cukup dan peningkatan pH air.

G.  KARBON DIOKSIDA (CO2)
Umumnya perairan alami mengandung Karbon dioksida sebesar 2 mg/liter. Pada konsentrasi yang tinggi (>10 mg/liter), C2O dapat beracun, karena dalam darah dapat menghambat pengikatan oksigen oleh hemoglobin. Larutan CO2 menunjukkan reaksi keseimbangan seperti ini :
(1) CO2 + H2O                H2CO3
H2CO3                           HCO3- -  H+ (K = 107)
HCO3-                                                       CO32- + H+ (K = 10-11)
(2) CO + OH-                 HCO3-

Pada pH < 8 reaksi terjadi seperti pada reaksi (2) terjadi terutama apabila nilai pH > 10. CO2/CO3-/HCO3- reaksi ini sangat menentukan daya penyangga dari media air tertentu yang bergabung dengan kation Cu+2, Mg+2, K+ dan Na+. Daya penyangga sangat mudah di tentukan dengan titrasi yang menggunakan 0,1 N HCl dan metal jingga sebagai indikator 1 ml. 0,1 N HCl sama dengan 1 unit daya mengikat asam.

(Ca (HCO3)2 + 2 HCl ————> CaCI2 + 2H2 CO3).

Dalam hal ini terdapat hubungan berikut : 1 unit daya mengikat asam, sama dengan 28 mg/liter CaO atau 50 mg/liter Ca CO, atau 81 mg/liter Ca CO3 atau 2,8 derajat hardness. Pada umumnya perairan mempunyai daya mengikat asam antara 0,1 sampai 6,0 unit. Kisaran yang lebih tinggi lebih baik daripada yang rendah, karena hal ini bersamaan dengan kandungan nutrien yang lebih tinggi, termasuk CO2/HCO3-/CO32- yang digunakan untuk fotosintesis yang akhimya dapat menyebabkan peningkatan produksi pemeliharaan.
Pakan adalah salah satu faktor input produksi yang berperan untuk mencapai peningkatan produktivitas organisme budidaya. Dari segi energetik, energi yang tersimpan dalam pakan akan dimetabolisasikan dan digunakan udang untuk dua tujuan, yaitu pemeliharaan (maintenance) dan pertumbuhan. Untuk itu pakan yang diberikan harus memenuhi persyaratan nilai gizi. Agar tercapai efisiensi penggunaan pakan, perlu pula diperhatikan cara jadwal dan ransum pemberian pakan yang diberikan seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
Pada pemeliharaan udang, baik di hatchery maupun di tambak, kualitas air yang layak merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan. Hal ini erat hubungannya dengan pakan, karena dengan padatnya organisme pemeliharaan dan banyaknya sisa hasil metabolik, maka air media pemeliharaan cepat mengalami perubahan kualitas. Kotoran dan sisa makanan akan mengalami pembusukan, mengakibatkan mudah berkembangnya jenis mikroba yang dapat merugikan.
Penggantian air mutlak harus dilakukan apabila terjadi akumulasi bahan organik yang dapat menyebabkan toksik pada organisme yang dipelihara. Pemantauan terhadap kualitas air perlu dilakukan secara kontinu.
Penggantian air ini merupakan salah satu faktor yang tidak boleh diabaikan, mengingat dengan diterapkannya padat tebar yang tinggi dan pakan dalamjumlah yang besar akan mengakibatkan air media pemeliharaan cepat mengalami perubahan kualitas.
Udang windu (Penaeus monodon) adalah hewan air yang segala kehidupan, kesehatan dan pertumbuhannya sangat tergantung kepada kualitas air media pemeliharaannya. Beberapa permasalahan yang sering ditemukan pada tambak yang dikelola secara intensif, di antaranya adalah air cepat mengalami kekeruhan. Kekeruhan ini terutama disebabkan oleh adanya bahan-bahan halus yang melayang dalam air yang berupa bahan organik seperti : plankton, jasad renik, detritus, kotoran udang dan sisa pakan. Kekeruhan yang disebabkan oleh partikel organik dapat membahayakan udang, karena bahan organik akan terdekomposisi menjadi senyawa yang bersifat racun seperti amoniak (NH3), nitrit (NO2) dan hidrogen sulfida (H2S). Selain itu dengan adanya proses penguraian bahan organik oleh bakteri aerobik, akan menyebabkan turunnya kandungan oksigen dalam air.
Sumber utama amoniak dalam air adalah hasil perombakan bahan organik, sedangkan sumber bahan organik terbesar dalam budidaya udang intensif adalah dari pakan. Sebagian besar pakan yang diberikan akan dimanfaatkan udang untuk pertumbuhan, namun sebagian lagi akan dieksresikan dalam bentuk kotoran padat dan amoniak terlarut (NH3) dalam air. Kotoran padat selanjutnya akan mengalami perombakan menjadi NH3 dalam bentuk gas. Secara biologis di alam, sebenamya dapat terjadi perombakan amoniak menjadi nitrat (NO3), suatu bentuk yang tidak berbahaya dalam proses nitrifikasi dengan bantuan bakteri nitrifikasi terutama Nitrosomonas dan Nitrobacter.
Selain memerlukan bantuan bakteri tersebut, dalam proses perombakan ini juga diperlukanjumlah oksigen yang cukup dalam air. Proses perombakan yang tidak sempurna dapat mengakibatkan akumulasi ion nitrit (NO2-) yangjuga bersifat racun bagi udang.











BAB IX
PROSPER KEBUTUHAN PAKAN BUATAN
DI INDONESIA

Sejak dimulainya perkembangan budidaya tambak udang di Indonesia, hampir seluruh suplai pakan merupakan produk impor dari Taiwan. Market Share-nya. diperkirakan mencapai 90 %. Akan tetapi produksi pakan dalam negeri pada akhir-akhir ini telah mulai bermunculan untuk mengisi kebutuhan budidaya tambak tersebut. Dengan didukung potensi sumber daya lahan yang cukup besar, pemerintah telah berupaya menciptakan iklim yang baik bagi para investor agar produksi udang dapat lebih ditingkatkan lagi. Di Indonesia terdapat terdapat beberapa sistem usaha pertambakan, yaitu :
-         Tambak tradisional, di mana benih ikan dan udang masuk ke tambak secara alami mengikuti arus pasang dari laut.
-         Tambak tradisional yang telah dimodifikasi, di mana selain stok benih udang dan ikan yang masuk secara alami, dilakukan juga penebaran benih.
-         Tambak dengan teknologi madya (semi intensif), yaitu dengan melakukan sistem monokultur udang dengan padat penebaran 10.000 - 40.000 ekor benih udang per hektar. Selain itu pemberian pakan telah dihitung berdasarkan hasil sampling agar didapatkan produksi yang lebih tinggi.
-         Tambak dengan teknologi maju (intensif), yaitu dengan penanaman benur mencapai 100.000 - 600.000 ekor per hektarnya. Sistem ini harus diikuti dengan pengelolaan air, tanah dan komponen lainnya seperti penggunaan pompa, sistem aerasi dan pemberian pakan yang intensif.
Dilihatdarikemungkinanpengembangannya, secara keseluruhan terdapat potensi lahan seluas 840 ribu Ha di seluruh Indonesia yang berasal dari kawasan hutan bakau yang tersebar terutama di luar pulau Jawa. Pada prinsipnya peningkatan produksi dari sektor pertambakan  dilakukan melalui dua kegiatan pokok, yaitu :
-         Program intensifikasi, yaitu peningkatan usaha pada lahan tambak yang sudah ada dengan perbaikan konstruksi, peningkatan pengelolaan dan penggunaan/penambahan sarana produksi seperti pakan, benur dan sebagainya.
-         Program ekstensifikasi, yaitu usaha perluasan areal baru bagi usaha pertambakan.
Dalam usaha memperkirakan kebutuhan pakan udang secara keseluruhan di Indonesia menurut Harjolukito (1989) dapat diproyeksikan melalui perkembangan luas tambak, produksi dan kebutuhan pakan (tahun 1987-1995) seperti tertera pada tabel. Kekurangan suplai pakan udang bagi usaha pertambakan, yaitu sebesar 45.000 ton. Kekurangan suplai pakan udang ini meningkat menjadi 102.000 ton pada tahun 1996, sesuai dengan peningkatan budidaya tambak udang di Indonesia.
Untuk memenuhi kekurangan suplai pakan udang tersebut, maka dengan penambahan suplai yang berasal dari pakan produksi lokal dan impor yang ditentukan pula oleh harga dan kualitasnya, akan terjadi suatu persaingan. Walaupun pakan buatan dalam negeri mampu bersaing dengan pakan impor dalam hal harga, namun belum tentu dapat menjamin pemasarannya. Dari pengalaman terdahulu ternyata pakan impor telah mendominasi pasaran dalam negeri, karena lebih dipercaya dari segi kualitasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Antik Eriina dan Woro Hastuti. 1986. Kultur Plankton. Direktorat Jenderal Perikanan dan International Development Research Centre (INFIS Manual Serie No. 38).

Badrudin M, Sri Umiyati Sumeru, Heru Wahyuono.  1989. Sumber Daya Demersal yang Potensial bagi Pengembangan Bahan Baku Pakan Ikan Budidaya. Sub Balai Penelitian Perikanan Laut, Semarang.

Catedral, F.C dan V.A. Dy-Penaflorida. 1977. "Amino Acid Analysis of Penaeus monodon muscle." dalam SEAFDEC Aquaculture Dept, Quarterly Research Report, 4Th Quarter,Tigbauan,Ilo-Ilo,Philiphina. 1 (4) : 1 – 4 8.

Deshimaru, 0, K. Kuroki dan Y. Yone. 1979. The Composition and Level of Dietary Lipid Appriate for Growth of Prawn Bull. Jap. Soc. Sci. Fish. 45 : 591 - 594.

Deshimaru, 0 dan Y. Yone. 1978. Optimum Level of Dietary Protein for Prawn. Bull. Jap. Soc. Sci. Fish. 44:1395 - 1397.

Kitabayashi, K.H. Kurata, K. Shudo, K. Nakamura dan S. Ishikawa. 1979. Studies of Formula Feed for Kuruma Prawn I on The Relationship Among.Glusamine, Phosphorus and Calcium. Bulletin on Tokai Regional Fisheries Researcy Laboratory. 65 : 91 – 107 :1.

Kontara, E.K, Sri Umiyati Sumeru, Bambang, S.R dan Kisto Mintarjo. 1987. Teknik Budidaya Artemia (Culture of Live Feed Organismwith Special Reference to Artemia Culture). Direktorat Jenderal Perikanan dan International Development Research Centre (INFIS Manual Series No. 53).

Kontara, E.K dan Sri Umiyati Sumeru. 1987. Makanan Buatan untuk Larva Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan dan International Development Research Centre (INFIS Manual Series No. 51).

Liao I. Chiu, Huei Meei Su dan Jaw Hwa Lim. 1983. Larval Foods For Penaeid Prawns, CRC Hand Book of Mariculture Volume I Crustacean Aquaculture, CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida, him. 55 - 57.

Nurdjana, M.L, DR.Ir, Sri Umiyati Sumeru, Ir., Zainal Arifin,. Ir. \9S9.EfisiensiPenggunaan Pakan padaBudidaya Udang Intensif. Makalah Pada Lokakarya Efisiensi Penggunaan Pakan Udang, Jakarta.

Pascual, F.P, Dr. 1988. Formulated Feeds For Penaeus monodon. Report of The Workshop on Shrimp and Fish Feed Development, Johore Bahru, Malaysia.

Sorgeloos, P, Etienne Bossuyt, Patrick Lavens, Philippe Leger, Paul Vanhaecke dan Danny Versichele. 1983. The Use of Brine Shrimp Artemia in Crustacean Hatcheries and Nurseries. CRC Hand B ook of Mariculture Volume I Crustacean Aquaculture CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida, him. 71.

Sumeru, S.U, AriefTaslihan dan Made 1. Nurdjana. 1988. Aplikasi Pemberian Pakan Udang Dalam Hubungannya dengan Management Kualitas Air yang Optimal. Makalah Pada Seminar Pakan Udang UNDIP, Semarang.
Sumeru, S.U. 1988. Status of Shrimp Feed Development at BADC, Jepara, Indonesia. Report of The Workshop on Shrimp,and Fin feb-Eeed Development, Johore Bahru, Malaysia

Sumeru, :SJU. Dany lurrarjim Nur. 1987. Preliminary Test on The Effect of Feedmif Rate of Artemia Flake Diet on The Growth and-Swvfytit of Penaeus monodon Post Larvae. Bulletin of The Brackishwater Aquaculture Development Centre, Directorate General of Fisheries Ministry of Agriculture, Indonesia. (Issued June, 1987) Vol. 8 No. 2.

Sumeru, S.U, M. Fairus Maisoni dan Endhay K. Kontara. 1986. The Result of Preliminary Test on Anemia Cyst Production Performed By Brackiswater Aquaculture Development Centre, Jepara, Indonesia. Bulletinof BADC, Directorate General of Fisheries Ministry of Agriculture, Indonesia. (Issued June 1987) Vol. 8 No. 2.

Sutanto Hardjolukito. Dr. IR. 1989. Potensi Pengembangan Usaha Pabrik Pakan Udang dan Peranan Pola TIR dalam Distribusinya. Lokakarya Efisiensi Penggunaan Pakan Udang. Jakarta 4 April.

Sutrisno,C.I.dan S. Budi Prayitno. 19SS.PemilihanBahan Pakan Udang Berkualitas Tinggi. Laporan Seminar Pakan Udang, Fakultas Petemakan UNDIP, Semarang.

Thammasart, S, Dr. 1991. Bagaimana Mencapai FCR 1,2 dalam Budidaya Udang Intensif. Asian Shrimp News No.6, ASCC, Surabaya.

Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.

Zonneveld, N., E.A. Huisman, J. H. Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

1991. Bagaimana Mengestimasi Survival Rate Grow Out Shrimp dan Produksinya. Asian Shrimp News No. 4, ASCC, Surabaya.

1991. Kebutuhan Makanan Udang dan Penyimpanannya, Asian Shrimp News No. 4, ASCC, Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar